Nusantarakini.com, Jakarta –
Sebenarnya makna kata diktator itu bersifat “netral”… bukan “positip”, bukan pula “negatip”. Itu penafsiran Ahli Bahasa Indonesia Linguistik, Jusuf Syarif Badudu, sewaktu berpendapat sebagai Ahli yang Meringankan saya (1996). Artinya sangat sederhana, yaitu seseorang yang mempunyai kekuasaan absolut, sehingga pendapat atau kemauannya tidak bisa dibantah. Kata “dikte” dan “mendikte” yang diberikan Ibu/Bapak Guru sebagai agenda di dalam kelas itu berasal dari “diktator”.
Berbeda dari Ahli Bahasa yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut, “diktator” adalah kata yang bersifat penghinaan. Karena saya dituduh mengucapkan “Soeharto adalah diktator”, maka saya dituduh sudah menghina presiden…, lalu divonis dengan hukuman 34 bulan penjara.
Banyak orang mengira, Pak Harto adalah diktator karena beliau mengartikan Pasal 7 UUD45 Asli sebagai “Presiden bisa dipilih berkali-kali”. Sedemikian rupa, sehingga sampai 30 tahun lebih berkuasa, demi kekuasaan dirinya. Padahal seharusnya adalah “bisa dipilih sekali lagi”.
Kediktatoran yang saya ucapkan tentu tidak bersifat positip ataupun negatip, karena tidak ada maksud menghina ataupun memuji siapa pun. Sedang kediktatoran yang dilakukan Pak Harto tentu bersifat negatip, karena melanggar Konstitusi serta mencederai rakyat banyak.
Kediktatoran Pak Harto tentu tidak hanya terjadi pada Pasal 7 UUD45 Asli saja, tetapi banyak yang lain. Selain apa yang sudah saya sampaikan tentang manipulasinya terhadap keanggotaan MPR/DPR-RI tempo hari. Antara lain, adalah juga Pasal 5 (1) UUD45 Asli.
Pasal 5 (1) adalah tentang Kekuasaan Membentuk Undang-undang, yang berada di tangan Presiden dengan Persetujuan DPR. Di sini Pak Harto “mewajibkan” DPR untuk setuju saja dengan RUU yang sudah disetujui Pak Harto. Bahkan diubah satu kata pun tidak boleh. Dalam RUU APBN, diubah satu sen pun oleh DPR, tidak boleh.
Bahkan di jaman Pak Harto itu, para anggota DPR, sekalipun dari Komisi APBN tidak mendapat copy RAPBN. Yang mendapat hanya Pimpinan MPR/DPR. Sekalipun begitu, Menteri Keuangan memberikan penjelasan selama 3 hari kepada Komisi, tanpa anggota DPR bisa menyimak apa yang disampaikan, lalu selesai seakan-akan sudah disetujui. Di tingkat Fraksi, semua dianggap setuju pula. Itulah sebabnya dalam rapat Pleno banyak anggota tidak hadir, karena semua Pimpinan Fraksi sudah mengambil alih suara anggota dengan menyatakan setuju. Semua RUU diperlakukan begitu.
Tentang RAPBN itu, sebagai anggota Komisi saya banyak menentang, bukan dalam angka-angkanya, karena kami tidak tahu angka-angkanya, melainkan di dalam Konsepnya. Terjadilah suatu ketika perdebatan seru dengan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad. Seminggu kemudian saya kena recall oleh Pimpinan PPP. Ada juga, Bambang Warih Kusumo (Alm) dari Golkar yg juga kena recall. Beda PPP dengan Golkar, kalau saya segera diganti, sehingga gaji saya berpindah tangan, tetapi Bambang tidak diganti sehingga gajinya tetap jalan. Usia anggota DPR-RI saya hanya 2 tahun setengah.
Semua RUU yang sudah disetujui Pak Harto harus pula disetujui DPR tanpa boleh dibahas atau diubah. Demikian pula sesudah menjadi UU tidak boleh diuji materinya oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung hanya berhak menguji Perundangan di bawah UU. Segala Pasal dalan Konstitusi yang di belakangnya tertulis “ditetapkan dengan undang-undang”, juga Undang-Undangnya akan mengalami nasib sama. Ini termasuk Pasal 2(1) tentang MPR, Pasal 12 tentang Keadaan Bahaya, Pasal 16 tentang Dewan Pertimbangan Agung, Pasal 23 tentang APBN dan Keuangan Negara, Pasal 24 dan 25 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan beberapa Pasal lain, termasuk Pasal 28 tentang Kemerdekaan Berserikat, Berkumpul dan Menyatakan Pendapat. Di semua UU itu intervensi dan interpretasi pribadi Soeharto amat sangat besar, karena dialah satu-satunya yang merasa punya kewenangan membentuk undang-undang.
Tentang Pasal 28 UUD45 Asli, yang saya sebut sebagai Pasal Demokrasi itu, Soeharto menerbitkan Paket Lima Undang-Undang Politik, yaitu UU Pokok Kepartaian, UU Pemilu (legislatip), UU Susunan dan Kedudukan MPR/DPR, UU Organisasi Kemasyarakatan dan UU Referendum. Semuanya kental dengan maunya Soeharto, termasuk berbagai manipulasi di dalamnya. Ada soal Litsus bagi Caleg, kekuasaan Fraksi, soal Recall, Mekanisme Penghitungan Suara dalam Pemilu, Pancasila sebagai Satu-satunya Asas dan tidak mungkinnya mengubah UUD45, yang berarti “UUD45 hasil interpretasi Soeharto”.
Rusaknya keadaan Negara sekarang ini diawali oleh Soeharto, lalu dicontoh oleh presiden-presiden berikutnya, dan ditambah pula tingkat kerusakannya.
Amandemen UUD sangat menambah kerusakan Tatanan Negara, seperti soal MPR dan GBHN, soal Pemilihan Presiden, soal DPA dan soal Pasal 33. Tetapi ada satu soal lagi yang luput dari perhatian banyak orang, yaitu munculnya Mahkamah Konstitusi. Mahkamah ini, selain telah membelah Kekuasaan Kehakiman, juga mendukung pendapat Soeharto bahwa UU tidak boleh diuji materinya oleh MA. Padahal, di dalam UUD49 dan UUD50, para Ahli Hukum kita, yang kwalitasnya jauh lebih hebat daripada Ahli Hukum kita sekarang, menetapkan Uji Materi terhadap UU bisa dilakukan oleh MA. Yaitu dengan membentuk Majelis Pertimbangan Konstitusi oleh Hakim-hakim Agung di lingkungan MA. Amerika Serikat yang sama-sama mempunyai Sistim Presidensiil juga menggunakan MA (the Supreme Court) untuk fungsi Uji Materi UU.
Terbelahnya Kekuasaan Yudisial menjadi MA dan MK telah menimbulkan banyak persoalan hukum, antara lain, MK menjadi Superbody menggantikan MPR dan menjadi Penjaga Kelangsungan UUD45 Palsu. [mc]
*Sri Bintang Pamungkas, Mantan Anggota DPR RI dari PPP Era Orde Baru.