Analisa

BACA. Masih seputar ‘Smoke and Mirror’

Nusantarakini.com, Jakarta –

Wartawan senior John McBeth membuat sebuah tuduhan serius kepada Presiden Jokowi. Dalam sebuah artikel di media online Asia Times, McBeth menyebut Jokowi tengah memainkan strategi “Smoke and Mirrors” dalam pemerintahannya.

Wartawan kelahiran Selandia Baru (1944) itu malah menyebut Jokowi sudah menjadi seorang empu (master) dalam permainan “asap dan cermin.”

Smoke and mirrors adalah sebuah idiom yang diadopsi dari para pemain sulap yang dalam aksi panggungnya menggunakan semburan asap dan cermin untuk menyembunyikan sesuatu dan menciptakan efek ilusi.

Dalam kamus Webster difinisinya adalah “something intended to disguise or draw attention away from an often embarrassing or unpleasant issue — usually hyphenated when used attributively.” Sesuatu yang dimaksudkan untuk menyamarkan atau menarik perhatian dari masalah yang sering memalukan atau tidak mengenakkan .

Sementara dalam kamus Cambridge difinisinya adalah “Something that is described as smoke and mirrors is intended to make you believe that something is being done or is true, when it is no.” Sesuatu yang dimaksudkan untuk membuat Anda percaya bahwa ada sesuatu yang sedang dilakukan atau benar telah dilakukan. Padahal tidak.

Dalam bahasa lebih sederhana smoke and mirrors adalah melebih-lebihkan fakta.

Priyayi Solo seperti Presiden Jokowi menyebutnya sebagai umuk. Omong besar dengan maksud agar lawan bicaranya menilainya sebagai orang hebat dan kuat.

Dalam konteks politik hal itu dimaksudkan agar para lawan politiknya tidak usah melawan, karena yang dilawan sangat kuat.

Isi tulisan McBeth sendiri sebenarnya biasa saja dan tidak ada yang cukup baru. Dia menulis tentang empat hal. Soal penyelamatan sumber daya alam, yakni negosiasi dengan PT Freeport dan pembangunan Blok Masela, pembangunan infrastruktur, serta swasembada pangan daging dan beras.

Soal Freeport McBeth menyebut pemerintahan Jokowi melebih-lebihkan keberhasilan dalam divestasi saham sebesar 51%. Namun bagaimana cara pemerintah membayarnya dan bagaimana penguasaan manajemennya tidak jelas. Justru yang terjadi pemerintah kembali mengizinkan Freeport mengekspor konsentrat tembaga. Sebelumnya pemerintah mensyaratkan akan memperpanjang izin Freeport bila bersedia membangun smelter di Papua.

Soal infrastruktur McBeth menyoroti pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung yang akan dibiayai oleh Cina sebesar USD 5.8 miliar, dan pembangkit listrik di Batang, Jawa Tengah senilai USD 4 miliar. Kedua proyek tersebut terkendala pembangunanannya berkaitan dengan pembebasan lahan. Proyek-proyek tersebut diharapkan dapat selesai pada tahun 2018, atau setahun sebelum pilpres.

Soal swasembada pangan seperti janjinya saat kampanye, Jokowi menyatakan akan menghentikan berbagai impor komoditi pangan termasuk daging dan beras.

Pada tahun 2015, tulis McBeth, pemerintah dengan bangga mengumumkan bahwa proporsi impor daging sapi terhadap total konsumsi turun dari 31% menjadi 24%, tanpa ada yang mencatat bahwa orang Indonesia hanya makan 2,7 kilogram per tahun. Tingkat per kapita konsumsi daging terendah di Asia Tenggara.

Setahun kemudian, angka tersebut telah meningkat kembali menjadi 32% dan tahun lalu meningkat lagi menjadi 41% dengan harga daging sapi sebesar US $ 10/kg.

Begitu pula dengan impor beras. Bulan lalu pemerintah mengumumkan akan mengimpor beras sebanyak 500.000 ton. Rencana impor beras ini menjadi sebuah ironi karena pada bulan Januari 2017 Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengklaim Indonesia berhasil melakukan swasembada pangan atas empat komoditi, beras, jagung, cabai, dan bawang.

Kalau benar pemerintahan Jokowi berhasil melakukan swasembada pangan, hal itu merupakan capaian yang luar biasa. Swasembada pangan berhasil dicapai saat Indonesia dipimpin Soeharto pada tahun 1980an. Setelah itu para presiden penggantinya, tidak ada yang berhasil melakukannya.

Tidak terlalu mengejutkan

Mengapa tulisan McBeth menjadi heboh dan viral? Tampaknya karena idiom yang digunakan, dan reputasi pribadinya sebagai wartawan yang sangat menguasai peta politik Indonesia.

Pertama, seperti telah disebut penggunaan idiom smoke and mirrors dan hide hard truths. Sebuah kosa kata yang tidak main-main karena mengandung tuduhan bahwa Presiden Jokowi mencoba menyembunyikan sebuah kebenaran.

Diakhir tulisannya Mcbeth meramalkan, cepat atau lambat kebenaran itu akan terungkap dan masyarakat akan menyadarinya. Dia menggunakan kata “Sooner or later, the smoke and the mirrors will inevitably lift to reveal hard realities.”

Kedua, penilaian McBeth bahwa Jokowi telah menjadi seorang empu permainan “asap dan cermin,” dan media yang secara tidak langsung memfasilitasinya dengan cara tidak pernah mempertanyakan, data-data “keberhasilan” yang disampaikan pemerintah.

Presiden Jokowi dan istana juga disebut menjadi “spin doctor,” sebuah kosa kata yang secara negatif sering dipahami sebagai upaya memutarbalikkan fakta.

Ketiga, ini yang tampaknya paling penting dan serius, adalah reputasi McBeth. Lahir di Selandia Baru, John McBeth menjadi wartawan selama 52 tahun, dan 44 tahun dari karir jurnalistiknya dihabiskan di Asia.

Mengawali karirnya sebagai sub-editor di Bangkok Post, dia kemudian menjadi reporter lepas London Daily Telegraph dan United Press Internasional.

Dia bergabung dengan majalah Far Eastern Economic Review pada tahun 1979 dan selama 25 tahun menjabat sebagai kepala biro majalah di Bangkok, Seoul, Manila dan Jakarta.

Ketika Review ditutup pada tahun 2004, dia menjadi kolumnis kontrak untuk Straits Times, kebanyakan menulis tentang Indonesia. Dia menikah dengan Yuli Ismartono seorang mantan wartawan senior Tempo dan pernah menjadi pejabat bidang kehumasan di Freeport.

McBeth juga menulis sebuah buku berjudul “The Loner : President Yudhoyono ’s Decade of Trial and Indecision.” Sebuah buku yang menulis dengan sangat lengkap masa kepemimpinan SBY selama dua periode sebagai presiden RI ke-6 dan presiden pertama yang terpilih secara demokratis.

Dengan reputasi semacam itu tulisan McBeth mengisyaratkan ada sesuatu yang tengah terjadi. Dia mempunyai banyak sumber berita di kalangan “orang dalam,” maupun komunitas internasional.

Tidak diragukan McBeth banyak tahu sesuatu yang tidak banyak diketahui kalangan umum, termasuk wartawan dan media dalam negeri. [mc]

*Oleh : Hersubeno Arief

Terpopuler

To Top