Nusantarakini.com, Jakarta –
Hanya selang waktu 5 (lima) hari, dua ulama di Bandung mengalami penganiayaan. Pertama, penganiayaan Pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah Cicalengka Kabupaten Bandung, KH Umar Basri pada Sabtu (27/1/2018). Kedua, penganiayaan terhadap Komandan Brigade Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis) HR Prawoto SE atau juga dikenal Ustaz Prawoto pada Kamis (1/2 /2018).
Hanya saja nasib Ustad Prawoto tak semujur KH Umar Basri yang masih terselamatkan. Sementara penganiayaan yang dialami Ustadz Prawoto harus berujung pada maut.
Peristiwa memilukan ini tergolong aneh. Aneh, karena pelakunya selain sama-sama bernama Asep, juga sama-sama disebut sebagai orang gila.
Maka, publik pun terheran-heran. Masa iya sih orang gila bisa menyasar targetnya, yakni seorang ulama, apalagi kejadiannya sama-sama di waktu shubuh? Karenanya kemudian banyak kalangan berspekulasi dan kembali mencoba memutar sejarah tentang orang-orang gila dalam tragedi 1998 yang membuat daerah Jawa Timur mencekam.
Jika kita coba buka lembaran memori, tahun itu begitu mencekam dan menakutkan. Jangankan keluar malam, setelah maghrib saja orang-orang sudah menutup rapat-rapat rumahnya. Ya, mereka takut jika beraktivitas di luar, nyawanya terancam oleh pembunuh yang kala itu populer dengan nama Ninja. Konon, target mereka adalah tukang santet, tapi justru di lapangan, yang jadi korban pembantaian mereka adalah ulama dan guru ngaji.
Anehnya, dalam banyak peristiwa, sosok yang disebut ninja seolah bisa berkamuflase dengan baik. Tidak sedikit ninja ketika berhasil ditangkap oleh warga, tetapi dalam waktu sekejap mereka berpura-pura menjadi orang gila. Apakah peristiwa akhir-akhir ini mengulang sejarah kelam 1998?
***
Kembali pada peristiwa di Bandung. Terlepas dari keanehan-keanehan ini, yang lebih aneh adalah bahwa korban penganiayaan dan pembunuhan tersebut adalah ulama. Mereka, terutama Ustadz Sarwoto dikenal dengan keberaniannya dan sering kali tampil sebagai avant garde dalam membela ulama. Apakah itu penyebabnya? Wallahu a’lam.
Akan tetapi, hal ini kemudian menjadi pertanyaan: Apakah penganiayaan terhadap ulama ini masih menjadi kelanjutan dari rentetan kisah dan upaya merongrong keberadaan ulama yang akhir-akhir ini marak terjadi? Bukankah para ulama belakangan ini mengalami peristiwa-peristiwa yang tidak cukup menggembirakan? Mulai dari kriminalisasi seperti yang dialami Habib Rizieq, Ustadz Al-Khatthat, Ustadz Alfian Tandjung, Ustadz Zulkifli, hingga persekusi seperti yang terjadi pada Ustadz Abdul Somad?
Sungguh, ini tidaklah wajar. Para ulama yang sejatinya mendapatkan penghormatan karena berani menyampaikan kebenaran di tengah mahalnya suara kebenaran itu sendiri, justru malah mengalami penganiayaan. Padahal, ulama sejatinya adalah_waratsatul anbiya’_ yang melanjutkan napak tilas perjuangan Nabi dan meneruskan dakwah dan syiar Islamiyah. Mereka adalah kepanjangan tangan para Nabi di akhir zaman ini.
Mereka dikebiri apakah karena begitu berani mengatakan tidak di saat yang lain beramai-ramai mengatakan iya? Atau mereka dianggap aneh karena tak goyah imannya untuk menyatakan setuju di saat banyak yang lain justru sebaliknya?
Bukankah mereka yang mengalami kriminalisasi adalah mereka yang kritis terhadap penguasa negeri ini? Mereka juga dikenal kokoh dalam memegang keyakinannya dan tak mau menukar keyakinan itu dengan hal-hal yang bersifat duniawi, apalagi kekuasaan yang hanya sementara.
Jangan-jangan kita memang sudah tiba pada zaman yang oleh Nabi disebut sebagai zaman aneh. Zaman di mana kebohongan sudah seperti kejujuran, kebenaran (al-haqq) dianggap sebagai kebathilan. Dunia kebalik.
Jika betul demikian, wajar kiranya jika para ulama di zaman ini lebih dianggap candu dari pada madu. Mereka lebih dianggap sebagai lara daripada lentera. Kehadiran ulama lebih dipandang sebagai lawan daripada sebagai kawan.
Maka kemudian, ulama dimusuhi bukan dikasihi. Mereka dipukul bukan dirangkul. Mereka digebuk bukan diajak rembug. Mereka didzalimi bukan diayomi. Mereka dikriminalisasi bukan diberi solusi. Kehadiran mereka yang sejatinya ingin memperbaiki hati bukan dihormati, tetapi malah diratapi.
Padahal jika kita tahu, sesungguhnya meninggalnya seorang ulama adalah musibah besar bagi kita. Sebab di antara cara Allah mengangkat ilmu dari dunia adalah dengan meninggalnya ulama.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari, Nabi SAW bersabda,
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah menangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.“ [ma/mc]
Rumahku, Bintara, 3 Februari 2018
Pukul 08.01 WIB.
* Moh. Ilyas, Pemerhati Politik, Pecinta Ulama.