Nusantarakini.com, Jakarta –
Kalau anda menonton film The Truth yang dibintangi oleh Robert Redford yang memainkan tokoh 60 Minutes CBS News, yaitu Dan Rather, maka anda akan tahu bahwa dasar demokrasi AS adalah the truth, yang gampangnya dalam konteks ini saya sebut don’t tell a lie, atau jangan berbohong. Meskipun begitu, kebohongan hampir selalu terjadi di dalam sejarah Kepresidenan AS.
Film The Truth menceritakan kebohongan George W. Bush yang mangkir ketika harus mengikuti wajib kursus militer. Dengan berbagai macam alasan, ikut ini-ikut itu, pindah sini-pindah situ, GWB bisa menghindari kewajiban itu. Lalu dia lolos dari Capres dan akhirnya menjadi Presiden Terpilih 2001-2005. Kabul dan Bagdad dibomnya untuk membalaskan Tragedi 11 September 2001.
Ketika akan mencalonkan diri untuk ke dua kalinya, CBS News mengendus bau busuk sejarah GWB, dan mulai menyiarkan temuan-temuannya dengan sangat hati-hati. Tapi pihak GWB melawannya dan… menang. Tidak berarti temuan-temuan CBS itu keliru… Tetapi dengan ksatria, Dan Rather bersama crew-nya mundur. GWB terpilih lagi dan melanjutkan pendudukannya atas Bagdad, dan penyiksaannya kepada para Mujahiddin di Abu Graib dan Guantanamo.
Agak lain, tapi juga karena kebohongannya dalam the Water Gate, Richard M. Nixon jatuh pada periode ke dua. Juga karena the truth, bukan karena perselingkuhannya, William J. Clinton diperiksa dan hampir jatuh, dalam Skandal Monica Lewinsky. Saya kira Donald Trump juga akan diperiksa karena kebohongannya dalam Skandal the Rusian Connection… Bahkan dia pula yang mendukung Saudi dan lain-lain memblokade Qatar!
Orang Bule, sejak Balita sudah diajarkan untuk tidak berbohong. Kalau berbohong dia akan tersingkir dari segala pergaulan. Anak Indonesia justru diajari berbohong oleh orang tuanya: “Jangan menangis, Nak… nanti ada gendruwo datang.” Bahasa-bahasa kebohongan itu berlanjut dan diturunkan sampai tua.
Pak Harto mengajarkan serangan fajar dengan bagi-bagi duit kepada para pemilih dan santri-santri di Pesantren. Juga membujuk MUI untuk berdoa politik bagi kemenangannya… sampai tujuh kali! Pak Harto juga mengajari bagaimana nemanipulasi suara agar Golkar selalu menang. Ketika Basofi Sudirman dengan kampanye dangdutnya serta siap dengan mahar 10 milyar Rupiah untuk Cagub Jawa Timur, lawannya mengalahkannya dengan mahar yang lebih besar… Basofi kalah!
Semua peninggalan Pak Harto yang bertentangan dengan Pancasika dan UUD45 itu diulang kembali oleh para penggantinya. Bahkan dilegalkan lewat UU Kepartaian dan UU Pemilu… dan diperbaiki setiap 5 tahun sampai menjadi rusak-rusakan sebagaimana kita saksikan sekarang. Bahkan ditambah denga Amandemen UUD, kerusakannya menjadi puncak (ultimate), karena Agen Asing dan Pengkhianat pun bisa menjadi Presiden.
Berulang-ulang sudah saya sampaikan, bahwa kedua UU itu (tentu banyak pula yang selain itu) bertentangan dengan Pasal 28 UUD45 yang memberi Kemerdekaan Berserikat, Berkumpul dan Menyampaikan Pendapat, Baik Lisan, Tulisan dan Lain-Lain. Tapi malahan membatasi dengan berbagai syarat yang menyulitkan bagi terwujudnya Kemerdekaan. Sehingga, hanya manusia-manusia tertentu yang bisa bisa membayar mahal, ikut dan menang… sekalipun otak udang. Dan hanya manusia-manusia yang akhlaknya tidak mulia yang mau ikut dalam sistim seperti itu!
Saya pernah meminta Uji Materi SELURUH PASAL dalam ke dua UU tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Alasan saya karena tiap pasal terkait satu dengan yang lain… Tetapi Mahfud MD, kiranya tidak mengerti. Akibatnya, kerusakan yang terjadi sekarang tidak bisa lagi diperbaiki. Dalam Sistim Kepartaian dan Pemilu (Pileg, Pilpres, Pilkada) yang seperti itu tidak mungkin akan terpilih pemimpin yang berpihak kepada Rakyat, Bangsa dan Negara!
Selama di dalam UU Kepartaian dan UU Pemilu masih ada barriers to entry terhadap partai-partai baru, atau adanya monopolisme partai-partai, maka selama itu pula tidak akan terpilih pemimpin-pemimpin yg baik. Karena pasar pemimpin dikuasai oleh partai-partai yg dibesarkan oleh para konglomerat korporat itu, yg bekerja seperti Mafia. Dan para Pemilih dipaksa untuk memilih Calonnya… memilih si Kucing Dalam Karung.
Padahal seorang pemimpin itu muncul dari ketidakmapanan, bahkan seringkali dari kemelaratan. Selain mereka tidak mampu secara finansial, pemikiran-pemikiran pembaharuan mereka akan ditolak, karena dianggap berbahaya bagi the establishment.
Pemimpin-pemimpin seperti ini hampir samasekali tidak mendapat tempat, bahkan muncul ke permukaan pun tidak bisa. The New Emerging Forces ini, kata Bung Karno, tidak bisa muncul, karena ada barriers to entry.
Berbagai halangan dan rintangan yg ada dalam UU Kepartaian dan UU Pemilu inilah yg harus disingkirkan. Anda tidak mungkin menyingkirkan itu semua tanpa menggulingkan rezim…, pimpinan dari The Old Established Forces, terlebih dulu…
Sekarang para Partai Oligarki merasa punya kuasa untuk menempatkan orang menjadi apa saja, Wakil Rakyat, Walikota, Bupati sampai Gubernur hingga Presiden. Betul-betul Maha Kuasa… tapi asal bayar! Tidak hanya Mahar kepada Partai, tapi juga ongkos-ongkos yang lain, termasuk kampanye dan syarat-syarat lain… yang tidak masuk akal! Kalau gak punya uang, ya ngutang… utangnya dibayar kalau menang… Kalau sudah duduk, kan nanti uang bisa dicari lewat apa saja… mudahnya korupsi atau ijin-ijin dan berbagai peluang bisnis dan jabatan. Begitulah demokrasi kita! Begitulah Daulat Tuanku Ketua Umum Partai… bukan Daulat Rakyat!
Lha, kalau semua calon tidak punya mahar dan duit utangan juga tidak ada, ya sudah… kubur saja pikiran-pikiran kotor mau menjadi pejabat negara. Akibatnya partai-partai mengalami Paceklik calon, sebab yang punya duit cuma Taipan. Para Oligarki Partai terpaksa menawar-nawarkan satu kursi Cagub untuk siapa saja yang mau… atau bekerjasama dengan para Taipan… menggadaikan Indonesia.
Sungguh-sungguh tidak terhormat… ya Partainya… ya Ketumnya… ya Calon Yang Dipilih… ya Pejabat Terpilihnya… ya Rakyat Pemilihnya. Bisa dibayangkan menjadi apa Indonesia… dipimpin oleh para oportunis yang datang dari negeri antah-berantah
Mudah-mudahan Pak Mahfud sudah mengerti maksud saya! Sistim ini sedang breaking down! [mc]
*Sri Bintang Pamungkas, Dewan Penasehat Musyawarah Rakyat Indonesia (MRI).