Nusantarakini.com, Jakarta –
Di dalam dunia akhlak dan moralitas, para nabi dan rasul adalah trendsetter-nya. Kata Nabi Muhammad SAW “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Nabi Muhammad adalah manusia pilihan yang terbaik akhlaknya diantara seluruh umat manusia.
Ajaran cinta kasih dari Yesus menjadi trendsetter nilai-nilai bagi umat Katolik dan Kristen. “Andai kata kudermakan yang luhur mulia, jika tanpa cinta kasih, hampa tak berguna. Ajarilah kami bahasa kasihmu, agar kami dekat padamu Tuhan-ku.” Yesus adalah manusia pilihan yang terbaik cinta kasihnya kepada umat manusia.
Ajaran tentang akhlak yang mulia serta ajaran tentang cinta kasih, dalam bahasa generasi zaman old disebut sebagai nilai-nilai luhur atau sistem nilai (value system). Di zaman old, nilai-nilai luhur dan kehormatan adalah yang utama dan selalu menjadi trendsetter.
Persis seperti di dalam dunia fashion, selalu saja ada model baru yang dianggap unik atau yang cenderung melawan mainstrem yang dapat menjadi trendsetter. Biasanya yang unik atau melawan mainstrem langsung mendapat pengikut jamaah yang luas.
Demikian juga seorang pemimpin, di dalam dirinya dituntut menjadi teladan atau trendsetter nilai-nilai, juga gagasan besar. Di dalam tulisan sebelumnya, kami pernah mengibaratkan keteladanan pemimpin itu dengan sumber mata air di puncak gunung.
“Perhatikan, hukum alam mengajarkan jika air yang mengalir dari mata air di puncak gunung itu bersih dan bening, maka otomatis akan menyapu bersih sungai di dataran yang lebih rendah yang tadinya berlumpur menjadi aliran air yang bersih, bening dan murni.”
“Sebaliknya, jika dari mata air di puncak gunung tersebut mengalir penuh dengan lumpur dan kotoran, maka otomatis mengotori sungai di dataran yang lebih rendah yang sebelumnya bersih dan bening.”
Bayangkan saja jika seorang pemimpin yang dituntut menjadi teladan, tapi justru tampil menjadi trendsetter “kekonyolan” sebagai metode pencitraan, maka kehidupan masyarakat tersebut dapat menjadikan “kekonyolan” sebagai “role model.”
Perhatikan tayangan acara di televisi-televisi serta berita yang bertebaran di media online yang minim mutu dan manfaatnya, yang hanya menjual “kekonyolan” dan “banyolan” sebagai dagangan. Artis dan pembawa acara yang konyol yang dianggap “now” dan “kekinian.” Politisi dan pejabat yang tampil konyol yang bisa menjadi media darling. Jika tak konyol tak ada yang nonton acaranya, tak ada yang baca beritanya.
Karena itu, kadang kita merasa seperti hidup di dunia yang lain jika sejenak chanel tivi kita berpindah menontot tayangan acara talk show di sejumlah tivi di negeri barat yang mendidik dan beradab. Bukankah mereka juga mengalami era millenial seperti kita? Lalu kenapa di negeri ini sangat konyol?
Situasi millenial memang telah membentuk generasi millenial dan mengharuskan terbentuknya kesadaran millenial. Namun di negeri kita, yang dimaksud dengan millenial itu adalah anti mainstrem, dan anti mainstream itu diidentikan dengan kekonyolan.
Karena itu, di negeri ini, terkesan hanya mereka yang berani konyol yang mendapat panggung di media, dan hanya mereka yang mendapat panggung di media yang bisa terpilih jadi pejabat, jadi Presiden, Gubernur, dll.
Bagi kalangan artis, “bad news is good news,” berita buruk adalah citra baik untuk si artis. Virus seperti itu kini menjangkit dunia politik, agar bisa naik panggung, populer dan terpilih menjabat, harus tampil konyol, agar muncul “bad news,” lalu menjadi trendsetter bagi kekonyolan.
Di negeri ini, di era yang katanya millenial ini, konon katanya kita tak perlu belajar keras untuk menjadi orang yang pintar amat. Agar dengan modal kepintaran itu, kita bisa menjadi sesuatu. Cukup dengan “kekonyolan,” kita bisa menjadi sesuatu, bisa populer, lalu dapat tempat untuk jadi host di televisi.
Masih ingat Vicky Prasetyo? Mantan pacarnya pedangdut Zaskia Gotik, yang ketiban terkenal karena “gimmic” kekonyolan, yang terkenal dengan “kontroversi hati” dan “konspirasi kemakmuran”. Vicky yang sebelumnya bukan siapa-siapa, lantaran gimmic kekonyolannya tersebut, kini beruntung dipercaya menjadi presenter di sejumlah televisi.
“Di usiaku ini, twenty nine my age, aku masih merindukan apresiasi, karena basically aku senang musik, walaupun kontroversi hati aku lebih menyudutkan kepada konspirasi kemakmuran yang kita pilih ya”, demikianlah kekonyolannya Vicky yang membawa berkah.
Bahkan, dengan kekonyolan dapat mengantarkan seseorang terpilih menjadi Presiden di negeri ini. Bayangkan saja, biasanya komoditi utama seorang Presiden itu adalah gagasan dan keteladanan nilai-nilai. Namun, di negeri ini, dengan kekonyolan dapat menjadi metode pencitraan yang sangat efektif.
Seorang Presiden itu adalah pemimpin bagi sebuah bangsa dan negara. Tugas utamanya seorang Presiden itu bukan hanya membangun hal hal yang bersifat material dan lahiriah seperti jalan tol, jembatan, dll.
Justru aspek yang jauh lebih penting untuk dibangun oleh seorang Presiden itu adalah aspek batiniah atau ruhaniah atau akhlak dari bangsa tersebut. Karena itu, selain dalam wujud program revolusi karakter bangsa, sebagai pemimpin seorang Presiden itu harus tampil menjadi teladan menjaga tradisi dan trendsetter nilai-nilai luhur.
Seluruh nabi dan para pemimpin yang menjadi trendsetter gagasan dan nilai-nilai itu pasti anti mainstrem. Maksudnya, mereka melawan arus mainstrem “ke-biadab-an” dengan mainstrem baru “ke-adab-an”.
Aneh, jika seorang pemimpin seperti Presiden Jokowi, justru tampil anti mainstrem dengan menjadi trendsetter “kekonyolan”, untuk tujuan pencitraan dalam meraih popluaritas. Tak disadari ternyata perilaku konyol para pemimpin tersebut menambah terperosok nasib bangsa ini ke dalam liang gelap yang dikuasai kuasa kegelapan.
Dalam termenung di awal tahun 2018, di dalam periode akhir zaman, aku teringat kembali dengan petuah “zaman edan” yang pernah disampaikan oleh mbah Ronggowarsito. Petuah itu kini makin terasa lebih asin di tengah kehidupan zaman now yang makin berasa tawar.
“…menyaksikan zaman edan (gila atau konyol), tidaklah mudah untuk dimengerti. Ikut edan tidak sampai hati. Bila tidak ikut edan, tidak kebagian harta, akhirnya kelaparan. Namun, sesuai kehendak Tuhan, seberapapun keberuntungan yang diraih orang yang lupa diri, jauh lebih beruntung orang yang eling lan waspada…”
*Haris Rusly, Aktivis 98. [mc]