Sanksi Sosial untuk Profesor Saldi Isra

Nusantarakini.com, Jakarta –

Beliau adalah orang yang awalnya sangat saya kagumi dan hormati. Beliau adalah dosen saya ketika kuliah S2 Hukum di Universitas Andalas (Unand) Padang. Dan beliau juga yang menguji draft disertasi S3 saya ketika mau melanjutan kuliah S3 Hukum juga masih di kampus Unand.

Orangnya muda, cerdas, penampilan sederhana, retorika hukum bagus ketika mengajar di kelas dan sangat mudah dicerna sebagai seorang guru besar hukum tata negara. Melejit awalnya sejak mendapat penghargaan “Bung Hatta Coroption Award” di awal tahun 2000an atas dedikasinya melawan tindak pidana korupsi melalui tulisan pemikirannya.

Sempat digadang mau menjadi Menteri Hukum dan HAM di awal kepemimpinan Jokowi, dan sejak itulah serta keterlibatanya sebagai saksi ahli hukum ketika sangketa pemilu dan pilpres di MK beliau dicap sebagai salah satu tokoh pro penguasa dari Sumbar.

Asli Minangkabau asal Kabupaten Solok. Dan sekarang menjabat sebagai salah satu Hakim MK menggantikan Patrialis Akbar yang juga berasal dari Ranah Minangkabau. Begitulah sekelumit pengetahuan singkat saya tentang sosok Prof. Dr. Saldi Isra, yang sepulang kuliah sering juga saya lihat beliau aktif main bulu tangkis di aula kampus Pancasila pasca sarjana Unand di samping Taman Budaya Padang.

Namun tiba tiba nama beliau di hebohkan dan mencuat bagaikan hulu ledak nuklir lintas benua ke angkasa. Sejak MK menolak uji materil terkait LGBT dan Zina adalah termasuk perilaku pidana dalam KUHP. Saldi Isra tidak sendiri, tapi bersama 4 hakim MK lainnya.

Hal ini mungkin akan biasa kalau beliau bukan orang Minang atau juga bukan muslim (mohon maaf dalam konteks kearifan lokal Minangkabau). Yaitu dengan secara tidak langsung dengan putusan hakim MK tersebut bisa seolah melegalkan LGBT dan Zina dalam tatanan hukum Indonesia. Kalau lah hal ini tidak termasuk ranah pidana, berarti perilaku tersebut sama saja diperbolehkan.

Sedangkan kita semua tahu, sebagai mayoritas penduduknya muslim, dalam Islam jelas perilaku “Kaum Sodom dan Zina” ini HARAM hukumnya dalam Islam. Artinya kita sangat menyayangkan ketika para hakim tersebut mengabaikan sumber hukum yang berasal dari sumber kearifan lokal baik agama, budaya, adat istiadat? Norma di tengah masyarakat menjadi salah satu refrensi dan rujukan hukum seperti yang dijamin dalam UUD 1945.

Apalagi kalau kita berbicara dalam kontek Minangkabau yang falsafah hidup masyarakatnya adalah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai ” yang arti dan kesimpulannya adalah, apapun yang bertentangan dengan Alquran dan ajaran Islam berarti juga haram dan wajib ditolak.

Dengan masuknya seorang Saldi Isra, anak kemanakan urang Minangkabau menjadi salah satu Hakim yang termasuk menolak uji materil ini adalah musibah besar bagi urang Minangkabau. Apapun alasannya, sulit kita menerima apa yang ada di dalam tempurung kepala guru besar hukum tata negara ini. Nilai dan pemikiran apa yang telah menjiwai dan mempengaruhi otak beliau sehingga putusan itu bisa lahir?

Sebagai mantan mahasiswa beliau saya mencoba berjuang berpikir positif, tapi mohon maaf sangat sulit. Karena kekecewaan dan sedih, galau lebih mengisi dada ini. Ada apa denganmu Prof??

Saya tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Putusan tertinggi dalam hirarki peradilan hukum di Indonesia telah dikeluarkan. Tak ada lagi upaya hukum setelah MK ini. Secara intelektual mungkin hanya langkah Examinasi yang mungkin bisa kita lakukan. Menguji, menelaah kembali hasil putusan tersebut dalam ruang lingkup akademisi, walaupun hal ini tidak akan merubah hasil.

Tapi yang jelas. Beban kita sebagai orang tua semakin berat. Bagaimana kedepan mendidik anak, membuat protection system dan immunitas ke imanan kepada anak anak kita agar jauh dan bebas dari virus Kaum Sodom ini. Jauh dari pola pikir liberalis dan sekulerisme. Yang menjauhkan agama dari nilai kehidupan.

Tapi saya sepakat. Sebagai orang Minangkabau. Walaupun secara hukum Indonesia kita tidak bisa melakukan upaya apa apa lagi terhadap putusan ini. Namun, secara adat dan budaya lokal Minangkabau saya sepakat kita semua mesti memberikan SANKSI SOSIAL kepada sosok Saldi Isra yang menurut saya telah mencorengkan abu di jidat orang Minangkabau.

Sangsi sosial makasudnya adalah, tentu yang sesuai dengan kearifan lokal adat yg berlaku di Minangkabau yaitu :

Kok cadiak kito indak ka batanyo,
Kok kayo kayolah, kito indak ka mamintak.
(Walaupun dia pintar kita tak kan peduli dengan ilmunya,
Walau dia kaya banyak uang, kita (masyarakat) jangan pernah mintak)

Kok kaba elok indak ba himbauan,
Kok kaba buruak indak bahambauan.
(Kabar baik di kampung tak akan di kabarkan atau tidak akan mengundang beliau dalam acara apapun di kampung,
Kabar musibahpun beliau juga tidak akan di kabari atau di datangi sekalipun)

Kok baliau tibo kito pai,
Kok nyo duduak kito tagak,
Kok nyo masuak lapau kito kalua,
Kok nyo tagak kito duduak baliak…
(Ibarat kita bertemu beliau. Kalau dia datang ke arah kita, kita semua pergi.
Kalau beliau berdiri, kita duduk.
Kalau beliau duduk kita berdiri dan kalau beliau masuk ruangan atau warung, kita semua keluar warung)

Arti dan kesimpulannya : Beliau sudah tidak akan di anggap lagi ada di Minangkabau. Diisolasi. Disisihkan. Dan bahkan dianggap sudah mati. Wallahu’alam…. (Demikianlah halus dan tajamnya sangsi sosial dalam adat Minangkabau)

Terakhir kata. Hanya doa dan pinta yang bisa kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Semoga beliau mendapat hidayah dan petunjukNya sebelum ajal menjemput. Aamiiinn Ya Rabball Aalaamiinn…..

*Anton Pramana, Alumni Mahasiswa Pasca Sarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas Padang. [mc]