Nusantarakini.com, New York –
Banyak orang yang semakin tahu tentang Islam di Amerika semakin pula terbingung-bingung. Terjadi paradoks yang nyata. Di satu sisi semakin tertantang, di sisi lain juga semakin maju. Semakin diburukkan oleh media dan politisi semakin dikenal oleh masyarakat luas. Semakin berusaha disembunyikan semakin menampakkan diri.
Lalu apa sesungguhnya yang terjadi?
Banyak jawaban terhadap teka-teki ini. Tapi beberapa di antaranya dapat disampaikan sebagai berikut:
Satu, Islam itu bagaikan air. Akan bergerak terus menerus membawa kehidupan. Justeru di saat tergenang air akan membusuk. Oleh karenanya Islam sebagai kebenaran tidak akan pernah terhenti begerak membawa kebaikan, kedamaian, ketentraman, dan peradaban. Dan jangan pernah mengidentikkan Islam dengan pemeluknya. Justeru tidak jarang pemeluknyalah yang menjadikan Islam nampak stagnan (tergenang) sehingga nampak buruk. Tapi yakinlah Islam itu akan terus bergerak menyebarkan cahayanya, keindahannya, dan membangun kehidupan yang lebih sehat dan baik.
Jika ada Islam yang diakui selain itu, maka itu bukan Islam. Jika Islam diakui sebagai kekerasan, pembunuhan dan terorisme, maka itu adalah antitesis dari Islam. Dan pelaku yang mengakuinya adalah musuh pertama dan terbesar bagi Islam itu sendiri.
Dua, panggilan batin. Sejak lama warga Amerika merasakan kerinduan batin yang dalam. Kemajuan materi yang didukung oleh kemajuan teknologi, dan dipercepat oleh alat informasi yang semakin canggih dan di luar kontrol menjadikan hidup manusia bergelimang dengn kemewahannya. Gemerlap dunia yang seolah datang memenuhi nafsu serakah manusia itu ternyata semakin membawa kegersangan batin. Sebab sampai kapanpun manusia tidak akan pernah terlepas dari kebutuhan dasar kemanusiannya. Selama perut masih merasakan lapar, selama itu pula batin akan merasakan lapar dan dahaga. Sehingga ketika perut terisi, tapi batin kosong maka manusia akan menjadi liar. Seolah hebat secara fisik, namun sejatinya mereka sedang meradang kesakitan.
Dalam situasi seperti inilah Islam dirindukan untuk menawarkan “healing” (pengobatan). Bukankah memang itu janji Al-Quran: “syifaa limaa fis-shuduur” (obat jiwa).
Sesungguhnya agama-agama semuanya memberikan tawaran yang sama. Kalau kita lihat misalnya, praktek meditasi menjadi agama dengan perkembangan tertinggi kedua setelah Islam di Amerika. Karena meditasi bisa memberikan kepuasan batin bagi kaum profesional dan kaya. Sehingga jangan heran jika Dalai Lama menjadi figur yang didewakan di kalangan warga Hollywood.
Hanya saja warga Amerika yang rasional, berpendidikan dan maju dalam pemikiran, kurang bisa menerima ajaran yang memisahkan antara kepuasan batin, rasionalitas dan juga kemajuan materi. Di sinilah kemudian Islam bisa menjadi alternatif. Karena Islam menjembatani antara akal dan hati, fisik dan ruh. Al-Quran mendefenisikan Ulul Albab sebagai “orang-orang yang selalu mengingat Allah dan berfikir tentang penciptaan langit dan bumi”.
Artinya dengan dua kekuatan ini, manusia akan mampu membangun dunia yang lebih baik. Itulah kekuatan dzikir (spiritualitas) dan kekuatan fikir (intelektualitas). Ketika salah satunya terabaikan maka akan terjadi ketimpangan hidup yang pada akhirnya hanya mambawa kepada penderitaan yang tidak nampak.
Tiga, didukung oleh tingkat rasionalitas yang mapan. Agama itu dasarnya iman. Tapi iman itu berproses melalui akal manusia. Dan karenanya akal menjadi sangat penting dalam proses tumbuhnya iman di hati manusia. Ketika iman dipaksakan akan terjadi pemberontakan akal, yang pada akhirnya akan menumbuhkan kepura-puraan dan juga keragu-raguan.
Beberapa waktu lalu saya satu panggung dengan Karen Amstrong, ahli agama-agama dari Inggris, di sebuah diskusi di kota New York. Tema diskusi ketika itu adalah “The Nothingness”. Kira-kira penggambaran tentang ketiadaan, kehampaan, dan pada akhirnya hanya ada satu yang ada: Yang Maha Ada (Tuhan). Salah satu pertanyaan moderator ke beliau adalah: anda ahli dalam semua agama. Kalau agama-agama itu adalah makanan, kira-kira makanan apa yang paling lezat?
Jawaban beliau pintar dan penuh diplomasi. Beliau mengatakan: “saat ini saya masih sedang mempelajari resepi dari semua makanan itu”. Tapi kemudian beliau menyambung: “tapi saya jujur, bahwa agama Islam adalah agama yang sangat rasional. Walau saya menemukan banyak orang Islam yang kurang rasional”.
Mendengar itu saya di satu sisi bangga. Tapi di sisi lain malu. Bangga kalau agama Islam itu memang rasional. Semua dimulai dengan “iqra”. Tapi dalam berpikir dan bersikap seringkali pengikutnya menanggalkan rasionalitasnya. Tapi malu dan mengakui betapa umat ini kerap kali kurang rasional dalam berpikir dan bersikap.
Di sinilah kenapa Islam begitu mudah diterima warga Amerika. Karena di saat Islam terekspos secara benar maka Islam akan sangat mudah diterima. Wajar saja jika agama ini dipersepsikan sedemikian rupa sebagai agama yang irrasional. Kerap kali melalui prilaku dan pikiran pengikutnya yang memang kurang rasional.
Empat, pertemuan substansi kebenaran yang sama. Saya tidak membandingkan agama dan negara. Sebab memang langit dan bumi berbeda. Tapi ketika air dari langit dan tanah bumi yang subur menyatu maka akan tumbuh tanaman-tanaman segar, yang buahnya akan dinikmati oleh manusia.
Di sinilah terjadi pertautan antara kebenaran samawi Islam dan kesunuran nilai-nilai bumi Amerika. Dua nilai kebenaran yang dengan mudah menyatu dan menumbuhkan kebajikan besar dalam kehidupan manusia. Ajaran Islam dan nilai-nilai Amerika (American values) adalah dua hal seirama. Keadilan, kesetaraan, kesejahteraan, dan perjuangan mencari kebahagiaan adalah nilai-nilai yang diajarkan keduanya.
Maka ketika Islam yang sesungguhnya terekspos, masyakat Amerika akan melihatnya bukan sebagai sesuatu yang dicurigai dan dilihat sebagai ancaman. Justeru Islam hadir sebagai konfirmasi nilai-nilai kebaikan yang sudah lama hadir dalam masyarakat Amerika.
Hal ini juga menyangkut kemajuan peradaban manusia. Kemajuan materi Amerika dan Barat secara umum tidak perlu terancam dengan kehadiran Islam. Sebaliknya justeru Islam hadir sebagai pelengkap bagi kemajuan materi yang sudah ada. Melengkapi nilai-nilai maknawi, yang dengannya kemajuan materi itu akan membawa kepada hasil diimpikan. Yaitu terwujudnya: pursuit of happiness (mencari kebahagiaan).
Ringkasnya, Islam dengan segala tantangannya akan selalu eksis dan maju di Amerika. Justeru yang diperlukan Islam di Amerika saat ini adalah agar masyarakat Muslim di dunia Islam mampu merepresentasi kebenaran dan keindahan Islam dalam kenyataan hidup. Jika tidak maka Kebenaran dan keindahan Islam ini akan tertutupi oleh representasi yang buruk itu. Semoga! [mc]
New York, 25 Nopember 2017
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.
Saudaraku, bantu wujudkan pesantren pertama di Amerika. Jadilah bagian dari sejarah ini dengan donasi di: https://m.kitabisa.com/pesantrenamerika