Warkop-98

Bongkar Dalang dan Aktor yang Merintangi Penyidikan Setya Novanto!

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Serial “telenovanto” yang bikin geger akal sehat itu telah digelar di depan bola mata kita.

Apakah kita akan berdiam diri dan mati beku menggenggam kebencian terhadap merosotnya keadaan negara tanpa tindakan nyata? Apakah seluruh mahasiswa dan pemuda telah menjual jiwanya kepada rezim yang hina ini?

Seorang budak belian, walaupun fisik dan pikirannya diperbudak, namun tak menjual jiwa nya kepada majikan. Di dalam lubuk hatinya yang terdalam, mereka menolak diperbudak. Seorang pelacur yang menjual tubuhnya, tak sedikit diantara mereka yang menolak menjual hati dan jiwanya.

Berbeda dengan kita, yang terlihat merdeka secara fisik dan pikiran, tapi justru menjual jiwa kita untuk diperbudak oleh segelintir “parasit politik”, oligarki “rent sekeers”, pemburu rente, yang kaya raya di atas penderitaan rakyat.

Kita sangat prihatin dengan keadaan generasi muda penerus bangsa saat ini. Sebagian diantaranya tak peduli lagi terhadap keadaan sosial dan politik yang nemprihatinkan, sibuk dengan dirinya sendiri. Ada banyak diantara mereka yang dirusak moralnya, lalu disandera oleh elite penguasa.

Sebagian yang lainnya telah secara sadar menjual hati, pikiran dan jiwa mereka untuk diperbudak oleh kerajaan kuasa gelap atau kekuatan kepentingan tertentu. Mereka hanya dikenalkan bahwa politik itu adalah pro atau kontra kekuasaan, menjadi relawan capres.

Mereka itu katanya adalah generasi melenial, sebuah generasi “jadi-jadian”, generasi “dadakan”, persis kayak tahu goreng dadakan, yang terbentuk tanpa landasan dan pedoman nilai-nilai dasar perjuangan.

Istana Negara Bertanggungjawab

Kembali kepada episode “telenovanto”, panggung sandiwara, yang telah menghina akal sehat kita. Sangat tepat jika kita mendesak Istana Negara dan KPK untuk mengklarifikasi dugaan keterlibatan sejumlah pihak, baik dalam mem back up secara politik, maupun merintangi penyidikan melalui dugaan skenario sakit dan sandiwara kecelakaan.

Pihak istana negara harus menyampaikan klarifikasi secara terbuka terkait dugaan keterlibatan Jenderal Luhut Pandjaitan dalam mem-back up Setya Novanto agar lepas dari jeratan hukum.

Walapun dalam pernyataannya, Presiden Joko Widodo menyampaikan tak mengintervensi penegakan hukum. Namun, dalam prakteknya Presiden Joko Widodo terkesan membiarkan Jenderal Luhut Panjaitan, “tangan kanan” dan “orang kepercayaannya”, melakukan akrobat politik, diduga untuk back up Setya Novanto.

Terkesan seperti pembagian peran dalam sebuah panggung sandiwara. Presiden Joko Widodo ditempatkan berperan sebagai “good boy”, mendukung pemberantasan korupsi. Sementara di sisi lain, Jenderal Luhut diberi peran antagonis sebagai “bad boy”.

Sebagai contoh, kehadiran Jenderal Luhut Panjaitan menjenguk Setya Novanto saat tayangan “telenovanto” episode dua, “papa sakit jantung”. Kita menangkap kesan sebagai “kode” back up politik dari Istana Negara terhadap Setya Novanto.

Tercatat hingga dua kali Jenderal Luhut datang ke rumah sakit yang berbeda untuk jenguk Setya Novanto. Pertama, Jenderal Luhut datang ke Rumah Sakit Siloam Jakarta, tempat Setya Novanto dirawat.

“Saya lihat sakit, dan perlu penanganan dari dokter, itu saja yang saya lihat. Nggak ada (pembicaraan), saya kasihan saja lihatnya lemas, gitu saja. Saya nggak banyak ngobrol, dia banyak diam,” kata Pak Luhut (www.detik.com 13/9/2017).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman tersebut, juga datang untuk kedua kalinya menjenguk Setya Novanto di RS Premier, Sabtu 30 September 2017. Peristiwa tersebut terjadi setelah Setya Novanto diputus bebas oleh hakim pra peradilan yang mengadili Setya Novanto.

Kehadiran Jenderal Luhut tak bisa dilihat dalam kapasitas sebagai sesama politisi Partai Golkar yang berempati terhadap musibah yang dialami Novanto. Jika kita membuka kembali ingatan kita terkait serial “telenovanto”, episode satu, “papa minta saham”, maka sangat jelas terungkap persekongkolan antara Setya Novanto, Jenderal Luhut Panjaitan dan M. Reza Chalid.

Karena itu, sangat beralasan jika publik menaruh curiga adanya back up politik dari pihak penguasa dalam skenario “telenovanto” episode ketiga, “papa tabrak tiang listrik”. Apakah Pak Luhut akan kembali menjenguk Pak Novanto?

Selain itu, sulit dipungkiri kecurigaan publik terkait operasi kontra intelijen yang dilancarkan oleh istana negara untuk mempertahankan kekuasaan dengan menempatkan “orang bermasalah” sebagai pejabat partai politik dan pejabat negara.

Setya Novanto yang mempunyai sejumlah masalah hukum, diduga dipakai untuk dua kepentingan oleh istana negara: Pertama, sebagai alat untuk menyandera parlemen dan Partai Golkar, agar tak leluasa dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Dengan dipimpin oleh orang yang bermasalah, maka yang bersangkutan dapat dengan mudah ditundukkan dan dikendalikan.

Kedua, ada dugaan Setya Novanto dipakai sebagai mesin “rent seeker”, mesin pengeruk rente, untuk pembiayaan operasi politik, baik untuk mempertahankan kekuasaan, maupun memperpanjang periode kekuasaan yang membutuhkan ongkos sangat besar.

Politik menghalalkan segala cara. Untuk mencapai tujuan, segala cara dipraktekan, tak peduli baik atau buruk dampaknya kepada masyarakat. Tak peduli, walaupun langkah politik tersebut telah mengkhianati projek revolusi mental yang turut mengantarkan Joko Widodo terpilih jadi Presiden.

Masa bodoh terhadap akibat dari tindakan politik tersebut, yang pasti makin memperparah kanker kerusakan moral yang sebelumnya telah menjangkit seluruh partai politik, politisi, pejabat hingga mayoritas rakyat. Bukankah pemimpin negara yang tak bermoral, otomatis akan merusak dengan sendirinya moralitas masyarakat yang masih terjaga.

KPK dan PPATK Perlu Klarifikasi

Oleh karena itu, menurut pandangan kami: Pertama, sangat penting bagi KPK untuk mengklarifikasi sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam merintangi penyidikan, diantaranya adalah dugaan keterlibatan Jenderal Luhut Panjaitan dalam mem-back up Setya Novanto agar bebas dari jeratan hukum.

Kedua, KPK juga perlu mengklarifikasi, baik kepada dokter maupun pimpinan Rumah Sakit yang diduga terlibat dalam dugaan sejumlah “sandiwara sakit” yang dilakukan oleh Setya Novanto yang telah menghina akal sehat seluruh rakyat Indonesia, serta melecehkan profesi kedokteran yang semestinya jujur dan bertanggungjawab.

Ketiga, kami juga mendesak PPATK untuk mengungkap dugaan aliran uang suap dari Setya Novanto kepada sejumlah politisi lintas partai, pejabat negara dan penegak hukum, yang telah meng “upgrade” kekebalan dan kesaktian Setya Novanto. [mc]

*Haris Rusly, Eksponen Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998, Yogyakarta.

Terpopuler

To Top