Nusantarakini.com, Jakarta –
Sebuah negara diibaratkan seperti kurs mata uang. Dimana kurs mata uang pasti mengalami fluktuatif dan hal tersebut tidak bisa dihindari, sebab akan mengalami turun atau naik setiap saat. Begitupun juga dinamika negara kita Indonesia, boleh jadi saat ini Indonesia diprediksikan oleh para pengamat, kedepan akan menjadi negara maju, tapi belum tentu hal itu akan terjadi. Yang jelas, ada masa Indonesia akan mengalami kemunduran atau kemajuan seperti kurs mata uang yang mengalami fluktuatif. Bahkan lebih buruk lagi Indonesia akan bubar dan hilang seketika eksistensinya akibat banyak hal yang akan terjadi ke depan.
Saat ini Indonesia masuk dalam daftar zona merah sebagai negara-negara yang tidak mampu membayar utang luar negeri bersama beberapa negara lain yaitu Ekuador, Venezuela, Mesir, Pakistan, Timor Leste, Spanyol, Portugal, dan Italia. Warisan utang luar negeri dari masa lalu yang sudah telanjur membengkak membuat pemerintahan Jokowi kini dilema serius. Kini total utang luar negeri Selama tiga tahun kepemimpinan Presiden Jokowi ditambah dengan utang masa lalu, per September 2017 berada di kisaran Rp 3.866,93 triliun. Pada tahun 2020, utang luar negeri Indonesia diprediksikan membengkak hingga Rp 5.000 triliun.
Untuk mengurangi beban ketergantungan negara pada utang luar negeri, pemerintah menginisiasinya dengan menggali sumber dana domestik seperti penerimaan pajak atau sumber lain. Akan tetapi, hal ini tidak semudah membalik telapak tangan. Dari jumlah utang Luar Negeri tersebut 54% didominasi oleh utang swasta. Celakanya, sebagian besar utang swasta itu, tidak memliki sistem hedging atau lindung nilai. Ketika nilai tukar rupiah rontok maka beban utang luar negeri akan bertambah besar. Berkaca dari kebangkrutan negara Yunani, tentu menjadi pelajaran kehati-hatian bagi pemerintahan Jokowi – JK dalam menjalankan eksisitensi roda organisasi kenegaraan yang dibelit utang Luar Negeri yang begitu besar, apalagi dalam percaturan ekonomi global, Indonesia sedang berhadapan dengan currency war.
Ini adalah cerminan masa depan Indonesia akan maju atau mundur bahkan bisa hilang seketika eksistensinya, apalagi percaturan politik dunia tidak selalu stabil antar kepentingan negara-negara adikuasa yang tentunya setiap perubahan akan menyeret Indonesia masuk dalam dinamika tersebut. Maka dari itu, pemerintah perlu melakukan kebijakan kongkrit, setidaknya bisa menghantarkan Indonesia sedikit keluar dari zona utang luar negeri. Kebijakan kongkritnya seperti; 1). Mengurangi atau membatasi import barang dan bahan pangan dari negara lain dan memaksimalkan hasil sumber daya dalam negeri; 2). Mengurangi pemakaian dana belanja negara untuk anggaran-anggaran yang belum terlalu penting. Suka atau tidak suka, langkah yang harus diambil pemerintah adalah perlunya mengurangi gaji anggota DPR, yang menurut data ISPA dan IMF, gaji anggota DPR mencapai USD 65.000/tahun. Nilai gaji DPR tergolong sangat besar dan berada diperingkat ke-4 dunia. Dengan mengurangi gaji DPR ini bisa digunakan untuk membayar utang luar negeri. Namun langkah ini rasanya berat untuk diterima para anggota DPR, namun ini merupakan langkah nasionalisme untuk menyelamatkan negara Indonesia dari utang luar negeri yang terus membengkak; 3). Memaksimalkan hasil penerimaan sumber daya alam, pendapatan bagian laba BUMN, pendapatan BLU, dan hasil dari PNPB lainnya.
We Are Quite Concerned But There Is No Need To Panic.
*Dahlan Watihellu, Pengamat Sosial, Ekonomi dan Politik. [mc]