Nusantarakini.com, Jakarta –
Peraturan Gubernur Jokowi 146/2014 adalah Pintu Masuk the Giant Sea Wall. Logikanya, kalau ada aturan tentang perijinan, yaitu bisa diberi ijin atau tidak diberi ijin, artinya ‘perihalnya tidak terlarang.’ Dalam kaitannya dengan reklamasi, yaitu pembangunan pulau-pulau, khususnya untuk perkantoran dan penghunian gedung-gedung mewah yang dijual/disewakan kepada PIHAK ASING dengan pemasaran sampai ke luar; itu semua tidak terlarang. Demikian seperti disampaikan Dewan Penasehat Musyawarah Rakyat Indonesia (MRI) Sri Bintang Pamungkas.
“Artinya, Jokowi, pada prinsipnya, tidak melarang pembangunan pulau-pulau reklamasi. Dengan tiadanya larangan tersebut, maka para Pengembang Taipan Mafia Cina melakukan pembangunan pulau-pulau reklamasi, tidak saja dengan cara-cara yang sembarangan dan sangat tidak profesional, tapi juga menjurus ke arah makar,” tutur Bintang kepada Nusantarakini.com, Jakarta, Kamis (2/11/2017).
Menurut Bintang, pikiran Jokowi, bahwa pada prinsipnya tidak melarang tersebut sudah ada semenjak sebelum menjadi Gubernur, yaitu yang disebutnya dengan rencana pembangunan the Giant Sea Wall di Pantai Teluk Jakarta. Pikiran tersebut, lanjut Bintang, merupakan ide orisinil Jokowi bersama para Taipan Mafia Cina pendukungnya, yaitu sesudah rencana pembangunan Jembatan Jawa-Sumatera bersama Tommy Winata dibatalkan. Setelah dilantik menjadi Presiden, ide the Giant Sea Wall ini tidak juga pernah disampaikan kepada DPR untuk dibahas.
“Maka dapat disimpulkan, bahwa sumber ribut-ribut soal reklamasi berupa pulau-pulau itu adalah Jokowi sendiri. Peraturan Gubernur Nomor 146/2014 tertanggal 26 September 2014 tersebut adalah pintu masuk untuk melaksanakan pembangunan the Giant Sea Wall, yang dalam kenyataannya adalah berupa 17 Pulau-pulau Reklamasi,” ungkapnya.
“Kalau masalah ini diajukan ke Pengadilan sebagai Tindak Pidana MAKAR atau yang lain, maka Jokowi tidak bisa mengelak,” pungkas Bintang. [mc]