Nusantarakini.com, Jakarta –
Pada bulan Oktober 2017 ini publik kembali dikejutkan oleh kehadiran sebuah Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) bernama VIVO yang menjual 3 (tiga) jenis bahan bakar, salah satunya adalah RON 88 dengan harga jual Rp 6.550 per liter (Harga SPBU Pertamina non Jawa, Madura, Bali Rp 6.450). VIVO dikelola oleh PT. Vivo Energy Indonesia ini sebelumnya bernama PT. Nusantara Energy Plant Indonesia (NEPI) yang kemudian melakukan perubahan nama melalui SK Menkumham AHU- 0002674.AH.01.02 Tahun 2017, dan juga telah memperoleh izin prinsip dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk perubahan penanaman modal asing melalui keputusan nomor 3859/1/IP-PB/PMA/2017.
Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dengan mengizinkan beroperasinya SPBU baru VIVO ini jelas sekali tidak mengindahkan substansi ketentuan dalam Perpres 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, dalam hal ini mengatur penyediaan bahan bakar jenis RON 88 yang seharusnya hanya boleh beredar untuk wilayah khusus dan tertentu untuk mendukung kebijakan politik Presiden, yaitu BBM SATU HARGA.
Hal terpenting yang diperintahkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 yang diterbitkan pada tanggal 31 Desember 2014 soal penyediaan, penyaluran dan pendistribusian dan harga jual eceran BBM adalah penghapusan subsidi Bahan Bakar Minyak serta penyediaan, penyalurannya, pendistribusian dan harga jual ecerannya untuk jenis BBM tertentu, jenis BBM khusus penugasan dan jenis BBM umum.
Pertamina secara korporasi sebenarnya mau tidak mau harus siap berkompetisi dalam dunia usaha atau bisnis secara global sejauh mengikuti prinsip-prinsip kewajaran (fairness), adil (equal) dan obyektif. Kehadiran pelaku usaha baru yang merupakan pesaing BUMN Pertamina juga tak akan ada masalah secara internal karena berbagai keberhasilan aksi korporasi di sektor minyak dan gas bumi di dalam dan luar negeri pun mampu ditorehkannya.
Masalahnya kemudian adalah jika persaingan yang terjadi tidak mengikuti ketentuan yang telah diberlakukan (rule of the games). Dalam kasus VIVO yang menggunakan merek produk REVO untuk Premium RON 88 ini adalah dipasarkannya di wilayah yang menurut ketentuan Perpres No 191 Tahun 2014 tidak diperbolehkan atau dilarang.
Dengan menjual harga Premium RON 88 di wilayah Jawa, Madura dan Bali pun VIVO memperoleh keuntungan beban biaya yang lebih ringan (tak menanggung beban subsidi) dan pangsa pasar (segmented) yang lebih besar, hal mana sebaliknya dengan Pertamina yang masih menanggung beban subsidi dan biaya logistik di wilayah non Jawa, Madura dan Bali serta wilayah khusus penugasan satu harga. Dalam Perpres juga disebutkan bahwa jenis BBM tertentu itu terdiri dari minyak tanah (kerosene), dan minyak solar (gas oil), sedangkan BBM jenis khusus penugasan adalah, jenis bensin atau premium (gasoline) RON 88 untuk didistribusikan di seluruh wilayah Indonesia kecuali di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali. Artinya, setiap badan usaha yang melakukan penyediaan dan pendistribusian di 6 (enam) wilayah tersebut melanggar ketentuan ini.
Lebih lanjut dalam pasal 4 Perpres ini juga disebutkan bahwa penyediaan dan pendistribusian atas volume kebutuhan tahunan jenis BBM tertentu dan jenis BBM khusus dilaksanakan oleh Badan Usaha melalui penugasan oleh Badan Pengatur.
Sementara itu BBM umum menurut ketentuan Perpres ini yaitu seluruh jenis BBM di luar jenis BBM tertentu dan khusus penugasan.
Berdasarkan Perpres ini bahwa
tanpa ada trade off seimbang untuk badan usaha yang melayani wilayah yang dikecualikan tersebut, maka Premium RON 88 sudah menjadi target bersama Pertamina dan Pemerintah cq ESDM untuk dihapus disebabkan oleh isu kebutuhan mesin otomotif dan isu baku mutu lingkungan.
Kalau penyediaan dan pendistribusian ini dibiarkan maka akan sangat merugikan pertamina (beban distribusi Premium 88 yang merugi) dan hanya memberikan keuntungan (rente) ekonomi ke sekelompok orang dan mengabaikan eksistensi keberlanjutan Pertamina sebagai BUMN dan jelas hal ini tak mengindahkan prinsip kewajaran (unfairness) dalam persaingan usaha.
Di samping tentu saja, Pertamina juga harus menanggung beban (cost) untuk mendukung dan mensukseskan kebijakan BBM satu harga untuk membantu menggerakkan perekonomian di daerah-daerah yang selama ini menerima dampak biaya BBM yang lebih mahal dibanding daerah lain di Indonesia.
Sesuai kontitusi, seharusnya pihak Kementerian ESDM dan BUMN mestinya pro aktif dalam bertindak untuk mengatasi permasalahan ini.
Dengan demikian, Kementerian ESDM dan BUMN tak dicurigai oleh publik justru menjadi otoritas yang tak berperan apalagi melindungi tegaknya Perpres Nomor 191 Tahun 2014 yang merupakan perintah Presiden.
Jalannya program pembangunan yang menjadi sasaran Presiden dan roda perekonomian bangsa dan negara jelas akan terganggu apabila ada pembiaran dan adanya ketidaktaatan pada Peraturan Presiden ini yang jelas bermaksud untuk menerapkan prinsip sila ke-5 Pancasila dan menegakkan pasal 33 konstitusi UUD 1945 serta terlebih penting dan utama adalah sebagai upaya yang sungguh-sungguh ditujukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan orang per orang. Kehadiran VIVO jelas mencederai prinsip-prinsip tersebut, dan untuk itu perlu segera ditangani Pemerintah supaya tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari. [mc]
*Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi.