Nusantarakini.com, Jakarta –
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Yang sedang berkuasa di negeri ini menyangka bahwa rakyat Indonesia adalah cacing-cacing yang terus menerus klugat-kluget di bawah tanah. Adalah batu-batu krakal yang bisa diinjak-injak selamanya. Atau kambing-kambing yang bisa disembelih kapan saja.
Mereka juga menyangka rakyat Indonesia hanyalah para pengumbar sesumbar di medsos. Para bintang film kelas menengah yang berpose di depan spotlight. Atau sejumlah segmen yang kebetulan terlihat oleh mata kuda lembaga-lembaga survei.
Lebih dari itu, para penguasa negeri ini, setelah melakukan riset komplit dan komprehensif dengan metodologi paling advanced: mereka menetapkan kesimpulan bahwa Tuhan kurang tepat mendesain bumi, daratan dan lautan. Bahkan Tuhan gagal paham terhadap manusia. Tuhan kurang move-on.
Maka dipilihlah pucuk pimpinan dan Pemerintahan Indonesia yang mantap dan kapabel memperbaiki kelemahan desain Tuhan di Indonesia. Kalau pakai bahasa Medsos: supaya Tuhan tahu bahwa konsumsi kuliner manusia bukan hanya tambang dan korupsi. Manusia juga sangat gemar makan bumi dan lautan. Dan itu mereka belajar dari Guru Besarnya.
Baik ketidaktepatan proporsinya, prosentasenya, maupun berbagai fungsi lainnya. Terdapat sejumlah konsep yang kurang relevan, kurang proporsional dan kurang memenuhi ekuilibrium sosial ekonomi untuk hajat hidup ummat manusia, utamanya bangsa Indonesia. Maka ditetapkan oleh para Khalifah di tanah Nusantara itu sebuah keputusan besar: Reklamasi.
Daratan harus diperluas, karena desain asli dari Allah dulu kurang futurologis, tidak memperhitungkan eskalasi deret hitung atau ukur populasi penduduk Indonesia. Apalagi Indonesia ini berhati lapang, berjiwa besar, membuka pintu bagi tetangga-tetangganya yang kekurangan tempat hunian. Kalau perlu para makhluk dari planet Mars atau Jupiter atau luar tatasurya, silahkan masuk Indonesia tanpa visa.
Mungkin Indonesia sudah lama mempelajari dengan seksama bahwa Tuhan memang kurang perfect. Makanya pilihan manajemen-Nya adalah evolusi kreatif. Bikin makhluk, kurang matang, lantas dimatangkan pada tahap berikutnya. Bikin manusia, kurang sempurna, lantas disempurnakan pada era berikutnya. Sampai akhirnya evolusi itu tiba pada desain Adam, dan diuji-coba sampai hari ini.
Berkali-kali anak turun Adam juga ternyata ‘malpraktik’. Sehingga Tuhan menghancurkan mereka berkali-kali dengan gempa besar, gunung meletus, banjir bandang, badai es. Lantas dibikin regenerasi. Di Abad 21 ini tampaknya sudah mendekati sempurna, dengan Indonesia sebagai modelnya.
Mayoritas penduduk Indonesia punya Panutan Agung yang pernah menasihati: “Carilah ilmu sampai ke Negeri Cina”. As-Shin diterjemahkan = Cina. Itu dipenuhi dengan sepenuh-penuhnya oleh para murid. Bangsa dari Negeri itulah Guru Besar bangsa Indonesia. Mereka takdhim luar biasa kepada beliau-beliau. Hati mereka membungkuk, akal pikiran mereka patuh, dan salah satu yang dilakukan dalam rangka kepatuhan itu adalah program Reklamasi.
Sebagaimana lazimnya murid, apa saja yang terbaik yang ia miliki dipersembahkan kepada Guru Besarnya. Tanahnya, rumahnya, harta bendanya, bahkan martabat hidupnya, kalau perlu nyawanya, masa depan hingga anak cucunya – dengan tulus ikhlas diabdikan kepada Guru Besar. Indonesia sudah mengangkat pemimpin ideal untuk mempelopori pengabdian total kepada Guru Besarnya. Mereka sangat beriman kepada Guru Besar itu. Dan menyembahnya sampai nungging-nungging dan mèlèt-mèlèt.
Grobogan, 25 Oktober 2017
Sumber: https://www.caknun.com/2017/menyembah-guru-besar-dari-utara