Analisa

Pribumi Belum Saatnya Menjadi Tuan di Negeri Sendiri? Terlalu Cepat?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Pernyataan Gubernur Baru DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan, tentang telah tiba waktunya bagi Pribumi mulai meniti untuk menjadi Tuan di Negeri sendiri menuai protes. Seakan-akan pernyataannya itu mengandung “rasisme” dan “diskriminasi.”

Salahsatu yang protes adalah kelompok Ahoker yang juga tidak tahu persis, apakah Anies melakukan tindak pidana. Tetapi LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta jelas mengatakan Anies telah melakukan tindak pidana yang bisa diancam hukuman 5 tahun.

Tentulah LBH Jakarta telah berpolitik, melebihi fungsi dan tugasnya. Baru-baru ini LBH Jakarta juga ikut aktif membela Simpatisan PKI yang jelas-jelas dilarang oleh MPR lewat Tap MPRS XXV/1966. LBH Jakarta telah “usil” dan imparsial. pernahkah LBH menggugat Ahok ketika menghancurkan ribuan rumah Pribumi di Kampung Pulo, Kali Jodo, Luar Batang dan lain-lain sebagai “rasis” dan “”diskriminatif”?!

Dulu LBH Jakarta sempat berjaya saat menangani Perkara Penghinaan terhadap Presiden Soeharto oleh Terdakwa SBP. Perkara yg ditangani oleh Pengacara-pengacara besar berkaliber internasional, seperti Adnan Buyung Nasution, Mohamaf Assegaf, Luhut Pangaribuan dan lain-lain itu, baru betul-betul Perkara yang memang menjadi kekhasan LBH untuk ditangani. Dalam kenyataannya, Perkara itu (1966) berpotensi menjatuhkan kredibilitas Presiden Soeharto, yang akhirnya benar-benar jatuh dari singgasana kepresidenan dua tahun kemudian.

Di bawah kepengurusan anak-anak muda yang tidak profesional sekarang, LBH Jakarta tidak diragukan lagi sedang bermain politik. Kalaulah Anies menyatakan orang Betawi sudah saatnya menjadi Tuan di DKI Jakarta, orang-orang Jawa, Minang, Batak dan lain-lain, yang juga menjadi penduduk mayoritas DKI Jakarta tentu tidak akan tersinggung lalu protes atau menggugat.

Semata-mata karena para pendatang DKI Jakarta itu sadar, bahwa orang-orang Betawi yang menjadi miskin dan kehilangan tanah-tanah mereka akibat “terdesak” oleh para pendatang dari lain daerah itu, benar-benar membutuhkan pertolongan dan pembelaan dari Gubernurnya. Itu bukan rasis, dan bukan pula diskiriminatif.

Orang-orang Jawa, Minang, Batak dan lain-lain itu dengan sukarela pula mendukung Program Gubernur menyejahterakan orang-orang Betawi untuk kembali menjadi Tuan di Wilayah DKI Jakarta, wilayah yang dulu adalah wilayahnya.

Jadi tidak ada soal dengan Betawi. Dan mestinya tidak ada soal dengan Pribumi. Hanya ada satu soal yang membedakannya. Orang-orang Jawa, Batak, Minang, Madura dan lain-lain itu sama sekali tidak “menjahati” orang-orang Betawi. Sedang orang-orang Non-Pribumi telah menjahati para Pribumi di DKI Jakarta dan di mana-mana di Indonesia sejak lama, ratusan tahun. Sehingga si Pribumi menjadi compang-camping sampai mengais-ngais sampah. Lihat saja apa yang dilakukan oleh Gubernur Ahok yang membuldozer rumah-rumah para Pribumi begitu saja dengan kepala dingin dan rasa bangga telah berhasil, sehingga mau menjadi gubernur lagi.

Jadi apa yang disampaikan Anies itu sudah sangat sesuai dengan harapan para Pribumi, sudah dinanti-nanti, dengan setiap hari mendoakan datangnya “Tuan Penolong,” seorang Gubernur baru yang bisa kembali mengangangkat harkat dan martabat Pribumi, sementara Ahok telah menghancurkannya; dan Gubernur-gubernur terdahulu, selain Ali Sadikin, tidak mampu menghadapi para penjahat Non-Pribumi yang justru rasis dan rakus itu.

Presiden Habibie tidak sadar ketika melarang pengucapan kata “Pribumi.” Dia mengira, dengan begitu, maka tidak ada soal lagi dg konflik Pribumi dan Non-Pribumi. Dia tidak melihat sejarah terbitnya PP 10/1959. Dia tidak menyaksikan Peristiwa Mei 1963 yang membakar kota Bandung. Dia juga tidak mendengar Peristiwa Nyala Api di Makasar pada September 1997. Lalu tiba-tiba menyuruh Pribumi menutup mulut hanya sebulan sesudah menjadi Presiden RI.

Juga SBY yang melarang mengucapkan kata “Cina” dan menggantinya dengan “Tionghoa” dan “Tiongkok.” Tidak itu saja, SBY juga mengeluarkan undang-undang yang memberi kesempatan kepada para Cina Mafia untuk menguasai tanah dan Sumberdaya Alam Republik dengan harga murah. Lalu memberi kesempatan mereka mendirikan Museum Kepahlawanan dalam Perang Kemerdekaan di TMII. Itulah wajah-wajah para pemimpin yang ditunggu-tunggu rakyat untuk memihak, tapi dengan penuh sia-sia!

Orang-orang di Eropa setuju dengan para Ahokers. Tapi saya bilang itu belum saatnya, terlalu Cepat! Di Eropa tidak ada kaya-miskin, di mana si Kaya adalah kelompok etnis tertentu dan si Miskin adalah kelompok etnis tertentu lain. Di sana boleh dan silahkan protes, kalau ada gubernur yang berpikiran rasis.

Di Indonesia itu bukan rasis. Mungkin nanti 30 tahun dari sekarang, atau 100 tahun; sesudah para Pribumi sederajad dalam kekayaan, pendapatan dan kesejahteraannya dengan bagian penduduk lain, di mana tidak ada kelompok kaya dan kelompok miskin. Apalagi yang kaya adalah etnis minoritas dan yang miskin etnis adalah mayoritas Pribumi. Silahkan menghapus kata Pribumi dan Non-Pribumi. Nanti 100 tahun lagi, kalau tidak ada lagi penjajahan atau kolonialisme yang menghasilkan pelanggaran terhadap peri keadilan, peri kemanusiaan dan peri kehidupan. Ketika para Pribumi benar-benar menjadi Tuan di Negeri sendiri, bolehlah “kita semua menjadi bersaudara.” Anies-Sandi sedang meniti ke arah situ.

Saya dan kawan-kawan pada 2011 pernah datang dan menyampaikan dengan resmi kepada Kapolri, tentang bahayanya memilih Jokowi-Ahok untuk menjadi Gubernur dan Wagub, karena belum saatnya. Mereka, para Jenderal Polisi, itu menertawakan kami! [mc]

*Sri Bintang Pamungkas, Dewan Penasehat Musyawarah Rakyat Indonesia (MRI)

Terpopuler

To Top