Nusantarakini.com, Jakarta –
Hampir tidak ada orang Indonesia yang mengingkari kenyataan, bahwa Indonesia dewasa ini sedang mengalami kekacauan. Terutama, orang-orang yang memang berpengetahuan relatif lebih maju, dan mereka yang sudah mendengar alasan dan penjelasan yang saya kemukakan. Tetapi ketika mau menjawab pertanyaan selanjutnya, apa dan siapa yang menjadi sumber kekacauan, banyak di antara mereka mulai terbelah.
Saya berpendapat, yang menjadi sumber kekacauan adalah kebijakan-kebijakan Jokowi, dan dengan begitu sumber kekacauaannya adalah Jokowi himself. Keadaan menjadi terbelah, karena sebagian dari mereka tidak berani atau takut menyebut nama Jokowi. Sebagian lagi beranggapan karena Jokowi adalah Presiden RI maka tidak layak menyebutnya sebagai sumber kekacauan. Sebagian lain memilih tidak menjawab, tanpa alasan.
Sedang saya dan sebagian yang lain karena beranggapan, sekalipun Jokowi Presiden RI, kami mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum, dan pemerintahan. Dengan keadaan yang dijamin Konstitusi itu, kami tidak perlu merasa takut atau khawatir menyampaikan pendapat, bahwa Jokowi membuat kebijakan yang keliru dan berakibat kekacauan di seluruh Negeri. Bahkan, kami mulai berpikir, juga warganegara Indonesia pada umumnya, mendukung pendapat saya yang sudah saya sampaikan beberapa waktu lalu, bahwa Jokowi sedang melakukan Makar terhadap NKRI.
Kalau kita memperhatikan pasal-pasal dalam KUHP, yang dimaksud dengan Makar adalah termasuk dalam Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Tentu termasuk di dalamnya yang bisa mengganggu atau berupa ancaman terhadap Kedaulatan Negara. Memang di dalam Pasal 104 sampai 110 ada disebut tentang membunuh atau melukai presiden (Pasal 104) atau membikin pemerintah tidak berfungsi (Pasal 107) atau membikin gerakan bersenjata, atau memberontak (Pasal 108), atau bermufakat jahat terhadap pemerintah dan Negara (Pasal 110). Tetapi ada juga kegiatan yang menyerahkan sebagian atau keseluruhan wilayah negara kepada pihak asing (Pasal 106).
Setiap ahli hukum tentu berkesimpulan sama dengan saya, bahwa inti dari pasal-pasal tersebut adalah pengkhianatan terhadap Negara dengan menggunakan paksaan, kekerasan, dengan senjata atau sekedar rekayasa. Penguasaan Tembaga Pura (sekarang Freeport) oleh Amerakia Serikat (AS) lewat perjanjian tanpa kekerasan adalah juga suatu bentuk Makar. Sama seperti model pembuatan 17 Pulau-pulau Reklamasi dan Kota Cina Meikarta oleh para Mafia Taipan Cina sekarang.
Oleh karena itulah Bung Karno pernah dituduh melakukan Makar terhadap pemerintahannya sendiri, atau terhadap NKRI, karena disangka terlibat dalam G30S/PKI dan Peristiwa Kudeta 1965 oleh Dewan Revolusi pimpinan Letkol Untung. Artinya, di dalam sejarah Indonesia, Makar oleh Pemerintah dan terhadap Negara mempunyai peluang yang sama. Lebih tegas lagi, Makar terhadap Negara oleh Presidennya sendiri bukan sesuatu yang mustahil.
Dengan demikian, Presiden Jokowi bisa juga melakukan Makar terhadap NKRI. Dalam bahasa yang mudah, Jokowi bisa berkhianat, pengkhianatan mana berakibat Kedaulatan dan Keamanan Negara terancam. Sudah saya sebutkan dengan panjang lebar dalam tulisan terdahulu, bahwa kebijakan Jokowi dalam 3 (tiga) tahun terakhir ini mengakibatkan perpecahan di antara masyarakat luas, yaitu munculnya Gerakan Anti Islam, Gerakan Anti Pribumi, Gerakan Pro-Komunis, Gerakan Pro-Cina, bahkan Kebijakan Pro-RRC. Kebijakan-kebijakan ini menimbulkan akibat luas, yaitu perpecahan di antara Muslim dan Non-Muslim, perpecahan di antara Pribumi dan Non-Pribumi dan perpecahan antara yang Pro-PKI dan Kontra-PKI. Patut diingat, Majelis Hakim dalam perkara Ahok menyebut-nyebut tentang perpecahan sosial yang luas. Bahkan perpecahan di antara Pribumi, di antara para Etnis Cina, di antara orang-orang Islam, di antara Non-Muslim, dan di antara para Simpatisan PKI dan Komunis, dalam menyikapi segala Pro dan Kontra itu. Sedang Pemerintah Jokowi seakan-akan mendiamkan dan membiarkan semua itu terjadi.
Perpecahan juga sedang terjadi dengan diterbitkannya Perppu yang bisa membubarkan setiap organisasi tanpa lewat lembaga pengadilan, yang menjadi korban pertamanya adalah Hizbut Tahrir. Terbitnya Perppu ini mengakibatkan Pro dan Kontra tentang Pancasila, tentang Keesaan Tuhan, tentang Agama Samawi dan Aliran Kepercayaan dan lain-lain; yang berpotensi memicu perpecahan.
Bahkan perpecahan juga sedang berlangsung antara Polri dan TNI. Pengangkatan Tito Karnavian sebagai Kapolri dan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN juga berpotensi menimbulkan perpecahan di antara Polri, dan antara Polri dan TNI. Sekarang pun muncul isyu pertentangan antara KSAU yang baru saja diangkat Jokowi dengan Panglima TNI. Sedang pertentangan antara Menteri Pertahanan dan Panglima TNI tentang kebijakan Alutsista dan lain-lain sudah bukan rahasia lagi.
Terungkapnya impor ilegal peralatan militer yang mencantumkan nama Jokowi atas puluhan ribu senjata tajam dan ratusan ribu amunisi oleh instansi di luar TNI tidak kurang berbahayanya bagi Negara, dan memperburuk pertentangan Polri dengan TNI. Dalam paket senjata tajam itu, bahkan ada pelontar granat, pelontar mortir dan tidak tertutup kemungkinan pelontar roket, seperti bazoka, yang dapat menghancurkan pesawat dan tank. Dengan maksud apa Polri atau kekuatan bersenjata lain di luar TNI membutuhkan senjata-senjata mematikan dalam jumlah luar biasa banyak itu. Apakah sebuah kudeta bersenjata sedang disiapkan dengan sepengetahuan Jokowi sendiri?!
Dan yang amat sangat berbahaya bagi keamanan dan kedaulatan NKRI, kalau masalah yang berkaitan dengan senjata itu dikaitkan dengan masuknya ribuan, puluhan ribu, bahkan dengan target jutaan Orang-orang Cina RRC yang tiba-tiba bermigrasi ke Indonesia. Mereka masuk ke Indonesia dengan sepengetahuan penuh dan kesengajaan Jokowi. Awalnya hanya dikatakan sebagai turis, lalu menjadi buruh-buruh dalam turn-key projects untuk proyek-proyek Infrastruktur dan Minerba. Selain semua proyek yang ditanggung oleh Indonesia dengan utang kepada RRC itu adalah untuk kepentingan RRC sendiri, juga kebijakan Cinaisasi itu sengaja nemberi kesempatan para Cina-cina Imigran itu untuk menetap di Indonesia. Oleh sebab itu sangat mungkin sejali sebagian dari mereka adalah para-militer yang mempunyai maksud menguasai dan menjajah NKRI lewat “perang asimetris” atau “perang proxi.”
Tidak ayal lagi, naiknya Jokowi dalam panggung poltik di Indonesia, dan yang dalam waktu singkat, dari seorang pengusaha mebel, lalu menjadi Presiden RI, patut diduga melalui rekayasa sistimatik yang melibatkan Intelijen Asing, khususnya RRC, dan Mafia-mafia Cina Indonesia. Sangat mirip dengan tuduhan yang dilontarkan orang terhadap Soekarno pada 1965. Tujuan akhir mana adalah Makar terhadap NKRI.
Memang Makar yang sesungguhnya dalam sebuah gerakan militer belum sempat terjadi seperti pada 30 September 1965, melainkan sedang berproses. Atau mereka memang tidak merencanakan begitu. Tapi seperti VOC, cukup mereka datang berbondong-bondong dan menduduki Jawa dan pulau-pulau lain begitu saja. Rencana Makar seperti ini mestinya sudah bisa digulung oleh TNI, sebelum terjadi; sebelum mengakibatkan korban dan banjir darah seperti 1965. Yaitu, sebuah operasi militer untuk mencegah Invasi Militer Asing, dimana ribuan para-militer asing dan senjata tajam sudah masuk ke wilayah NKRI. Dalam situasi militer yang menegangkan seperti ini, sangatlah tidak pada tempatnya mendorong rakyat sipil maju di front terdepan. [mc]
*Sri Bintang Pamungkas, Dewan Penasehat Musyawarah Rakyat Indonesia (MRI).