Nusantarakini.com, Jakarta –
Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) kemarin Senin, 2 September 2017 melakukan audiensi dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BKPN) dan diterima oleh beberapa Komisioner BPKN, antara lain Dr. Ir. Arief Safari, MBA, Prof. Dr. Ir. Atih Surjati, M.Sc, Bambang Sumantri, MBA dan lain-lain. Audiensi terkait penolakan ASPEK Indonesia dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) terhadap rencana Pemerintah yang akan memberlakukan Gardu Tol Otomatis (GTO) 100% di seluruh jalan tol yang ada di Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Mirah Sumirat, SE, Presiden ASPEK Indonesia berbagi pengalamannya saat menghadiri kegiatan “UNI High-Level Delegation to China – Dialogue between ACFTU & UNI” pada tanggal 20-24 September 2017 di Beijing China. ACFTU adalah Konfederasi Serikat Pekerja China.
Dengan mata kepalanya sendiri, Mirah Sumirat melihat bahwa jalan tol di Beijing tidak memberlakukan otomatisasi 100%, namun tetap mempekerjakan manusia dan menyediakan akses tunai yang lebih banyak dibanding non tunai. Gardu tol di China baru 20% yang diotomatisasi melalui Alipay (red: uang elektronik di China), sedangkan 80%-nya masih memberlakukan transaksi tunai. Saat Mirah menanyakan kepada salah satu pejabat yang ditemuinya, mengapa tidak memberlakukan otomatisasi 100%, Mirah mendapat jawaban yang di luar dugaan. Pejabat tersebut mengatakan, jika semua diotomatisasi, bagaimana nasib 1,3 milyar penduduk China yang masih membutuhkan pekerjaan dan penghasilan?
Selama ini berbagai pihak di Pemerintah Indonesia selalu mengatakan bahwa di negara-negara lain semua jalan tol sudah otomatis. Informasi yang dihembuskan oleh Pemerintah ternyata tidak benar, karena faktanya di China, Malaysia, Amerika dan lain sebagainya, tidak diberlakukan 100% otomatisasi dengan pertimbangan perlindungan tenaga kerja dan perlindungan konsumen, ungkap Mirah.
Dalam audiensi tersebut, Sabda Pranawa Djati, SH, Sekretaris Jenderal ASPEK Indonesia juga mengatakan bahwa Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan oleh Bank Indonesia (BI) dan GTO 100% yang dilakukan oleh PT Jasa Marga yang didukung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ini sesungguhnya hanya menguntungkan pihak bank penerbit uang elektronik. Sudah sejak lama ketika dibuka GTO di beberapa gerbang tol, konsumen pengguna jalan tidak antusias untuk membeli e-toll/e-money, dibuktikan dengan sepinya GTO di semua gerbang.
E-money itu jualannya bank, kenapa justru Negara yang berperan menjadi “sales”-nya? tanya Sabda. Selama ini bank penerbit uang elektronik kebingungan karena E-money tidak laku di masyarakat. Sehingga Sabda menduga pihak perbankan (melalui Himpunan Bank Negara/Himbara) kemudian melobi Pemerintah (Bank Indonesia) untuk bisa turut “menjual” e-money dengan mewajibkan transaksi non tunai di beberapa fasilitas publik, seperti di Transjakarta dan di jalan tol. Tidak menjadi masalah jika bank berjualan kartu uang elektronik secara retail tanpa melibatkan peran Pemerintah. Namun menjadi persoalan yang serius dan merugikan konsumen ketika justru Bank Indonesia (red: Negara) yang kemudian keblinger dengan berperan sebagai “sales” dan menggunakan instrumen Negara (Kementerian dan BUMN) untuk memaksa konsumen membeli e-toll/e-money.
Komisioner BPKN, Dr. Ir. Arief Safari, MBA, mengatakan bahwa BPKN telah membuat Rekomendasi kepada Bank Indonesia tertanggal 22 September 2017, yang salah satu rekomendasinya berbunyi “Pada setiap transaksi di wilayah NKRI, konsumen terjamin tetap memiliki akses pembayaran tunai, sesuai Undang Undang No.7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang masih berlaku”. BPKN sangat berterima kasih dengan berbagai masukan dan informasi yang disampaikan oleh ASPEK Indonesia dan KSPI, serta berjanji akan menyampaikan kepada Bank Indonesia. [mc]