Nusantarakini.com, Jakarta –
Suatu ketika, seorang pengurus partai Islam meninggal kareka sakit berat. Sebelum meninggal, saya kunjungi. Saya tanya kepada istrinya, apakah ketua umum partainya, orang yang terkenal itu, sudah melihat keadaan suaminya? Apa jawaban istrinya. Tidak.
Sampai pengurus partai Islam itu dikuburkan, ketua yang hebat dan flamboyan itu, tidak juga ikut menguburkannya. Bayangkan, itu pengurus partainya sendiri. Bagaimana pula dengan anggota-anggota partai, konstituen partai, apalagi simpatisan. Mati, matilah sendiri. Tahankan saja.
Suatu hari berikutnya, orang yang membela Islam ditahan karena menulis tentang PKI. Akhirya dia pun dikurung. Dengan senyap dia menanggung sendiri musibahnya. Tak ada ulama, kyai apalagi petinggi partai Islam yang menjenguknya. Tahankan sendiri. Mati sendiri dengan risiko perjuangan.
Suatu ketika yang lain, seorang Ibu yang terkenal membela aksi-aksi umat Islam, ditahan. Tuduhan dilemparkan kepadanya: UU ITE.
Aku mengajak orang-orang yang katanya aktivis Islam itu untuk segera gelar konprensi pers. Menekan pemerintah, jangan main-main dengan kekuasaan. Unjukkan solidaritas kepada ibu tersebut.
Apa kata mereka? Kita doakan saja, semoga ibu itu tabah menghadapi cobaan.
Tentu aku geram sekali dengan pernyataan yang bernada buang badan itu. Aku ajak konprensi pers. Bungkam. Ada yang menjawab, nanti kalau sudah terorganisir, baru melakukan hal semacam itu.
Luar biasa. Begitu rendahnya solidaritas. Inikah ukhuwah itu. Tidak ada ukhuwah. Tidak ada solidaritas. Non sense. Omong kosong.
Yang ada, hanya orang-orang yang berlomba menjadi populer di atas gelombang sejarah.
Ibarat kereta mau pergi ke Jogjakarta, orang-orang tampak sama-sama satu kereta. Tapi masing-masing punya agenda-agenda sendiri. Ada yang agendanya ke Cirebon, Purwokerto, Gombong dan Yogyakarta.
Kebetulan saja semua satu kereta. Di dalam kereta ada yang tidur, makan, main hape, lihat-lihat pemandangan, dan seterusnya. Tak ada perkenalan. Tak ada empati. Masing-masing saja. Sekedar berpapasan saja. Say hello saja.
Begitulah gambaran solidaritas umat Islam di Indonesia. Karena itulah aku males lihat umat Islam di Indonesia. Apalagi para politisi dan petinggi-petingginya.
~ Sungai Embun