Nusantarakini.com, Jakarta –
Fakta tak terbantahkan bahwa Israel, China, Amerika, Inggris dan Indonesia sudah masuk mengambil bagian dalam proses konflik di Myanmar. Kendati masing-masing negara memiliki tujuan yang berbeda dan derajat intervensi yang berbeda pula. Indonesia jelas mengintervensi Myanmar agar dapat meredakan konflik. Sebaliknya tiga negara di atas, Israel, China dan Amerika, jelas bermaksud mengeskalasi konfkil. Maklum, banyak kepentingan geopolitik dan ekonomi mereka di sana.
Israel, merupakan penasehat militer bagi Myanmar sejak lama. Mereka juga mensuverviwi militer Myanmar dalam soal persenjataan. Hasilnya, senapan serbu buatan Myanmar tercipta yang sebenarnya merupakan salinan dari senapan serbu buatan Israel.
Amerika masuk mempengaruhi Myanmar lewat isu demokratisasi berbalut kepentingan sumber daya alam. Kita tahu, Myanmar menyimpan sumber daya alam yang cukup besar. Sedangkan China jelas ingin mewujudkan Jalur Sutera Baru. Namun, jika Myanmar tidak stabil, jalur sutera baru yang meliputi Asia hingga Eropa itu, bisa terkendala. Di sini siapa yang bermain, apakah Inggris sebagai bekas penjajah Myanmar atau Amerika, masih menjadi pertanyaan.
Yang jelas, China sudah sejak lama dan secara dalam mempengaruhi ekonomi dan militer Myanmar. Lagi pula, China memiliki persamaan budaya dengan Myanmar, dimana sebagian besar penduduk China juga memeluk Budha dan sama-sama berorientasi sosialis.
Namun bukan tidak mungkin, China dapat memanfaatkan konflik dan relasinya dengan Myanmar untuk melebarkan pengaruhnya. Lagi pula saat ini, China amat berhasrat untuk menguasasi jalur distribusi ekonomi seluruh dunia. Jalur Sutera Baru dengan semboyannya, Satu Sabuk Satu Jalan, merupakan pantulan dari maksud geopolitik dan ekonominya. Pendeknya, China secara tidak terelakkan akan menjadi kolonialis dan imperialis dunia beberapa tahun ke depan secara nyata. Sekarang saja, gejala China Raya ini telah terasa dengan kuat.
Tentu saja Amerika sebagai kekuatan lama yang masih eksis, akan membayar apa pun untuk menggagalkan eskalasi kekuasaan ekonomi China. Bisa jadi, eskalasi konflik Myanmar, digunakan sebagai perang proxi antara China dengan Amerika. Indonesia karena memiliki kedekatan dengan Myanmar sebagai anggota ASEAN dan Rohingya sebagai Muslim, akan berada dalam posisi sulit, tetapi tidak bisa lagi balik badan dan keluar dari jebakan konflik. Satu-satunya cara mengakhiri konflik, jika Rohingya diakui sebagai bagian dari warga negara Myanmar dan hak-hak sebagai warga negaranya diakui oleh Myanmar dan kemudian Myanmar memulihkan keamanan dan kedamaian terhadap penduduk beretnis Rohingya yang dibantu oleh negara-negara di seluruh dunia.
Diamnya Amerika dan China dalam isu genocida Rohingya merupakan suatu hal yang dapat diduga bahwa kedua negara besar tersebut memiliki kepentingan dengan konflik di Myanmar tersebut.
Yang perlu dijaga oleh Indonesia saat ini ialah agar stabilitas kawasan di lingkungan ASEAN dapat segera dipulihkan. Saat ini, kepemimpinan informal Indonesia dipertanyakan, mengapa konflik di Marawi dan di Rakhine State tidak dapat diatasi oleh komunitas ASEAN?
Indikasi keterlibatan Israel, China dan Amerika di konflik Myanmar tidak bisa ditutupi. Apabila keterlibatan mereka makin meluas, ladang perang di Suriah dan Irak akan digandakan di Myanmar. Apalagi daratan Myanmar dan teluk Andaman, Myanmar, tidak terlalu jauh dari Timur Tengah. Menurut informasi, mujahidin dari Muslim China dan Afghanistan sudah mengalir pula ke utara Myanmar.
Bagi China, gejala mengalirnya mujahidin dari negaranya, merupakan keuntungan untuk menumpas elemen pemberontak dari negaranya, tetapi lapangan pembantaiannya terdapat di luar negaranya. Keuntungannya, China bebas dari sorotan HAM Internasional. Kepentingan Israel juga sama: mengeluarkan para kombatan dari perbatasan negaranya demi stabilitas negaranya. Tampaknya pemerintah Indonesia juga kalau soal seperti ini punya kepentingan yang sama, yaitu bagaimana apa yang disebut elemen radikal Islam oleh rezim Jokowi dapat dikanalisir (dibuang) ke Myanmar. Praktik ini pernah diterapkan rezim Orde Baru pada masa perang Afghanistan, dimana elemen radikal Islam disalurkan ke Afghanistan. Senjata diberikan ke CIA, lewat CIA diberikan lagi ke para Mujahidin. Apa lagi mengingat para penyalur senjata AK 47 dari Indonesia ke CIA itu masih banyak yang berkiprah hari ini.
Masalahnya, adakah manusia yang dapat mengendalikan masa depan konflik? Konflik Afghanistan misalnya telah berkembang menjadi Alqaidah dan Alqaidah berkembang menjadi perebutan kekuasaan di Timur Tengah saat ini dengan melibatkan perang bersenjata.
Karena itu, potensi konflik di Myanmar untuk berkembang menjadi perang total dunia di dalam konteks dunia yang makin terintegrasi dan transparan, bukanlah suatu hal yang mustahil, bukan?
~ John Mortir