Analisa

Tinjauan Ekonomi Indonesia Tahun 2017

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama dimulainya pembangunan lima tahun secara berjangka pada zaman Rezim Orde Baru selalu stabil diantara 6% – 7%. Kecuali pada saat krisis moneter (krismon) pada tahun 1997.

Setelah masuk ke era reformasi, pertumbuhan ekonomi pun relatif stabil di angka 6% – 6,5% dan di tiga tahun terakhir atau saat ini pertumbuhan masih stabil dengan kecenderungan memburuk di angka 4,9% – 5,2%.

Tapi itu adalah ekonomi makro, sedangkan di ekonomi mikro yang lansung bersentuhan dengan masyarakat atau rakyat secara keseluruhan; baik sebagai produsen, distributor, penjual maupun pembeli nyaris ambruk dalam 2 (dua) tahun terakhir ini. Daya beli masyarakat menjadi sangat lemah dan turun sampai antara 40% hingga 60% secara merata.

Pada akhir tahun 2014 minyak dunia dalam posisi turun drastis hingga hampir mencapai 30 USD/barrel. Banyak negara memanfaatkan momentum tersebut untuk memperbaiki APBN-nya; namun justru di Indonesia terjadi kenaikan harga BBM hingga hampir mencapai 30%. Dan seiring dengan hal tersebut terjadi juga pelemahan pada nilai tukar rupiah terhadap valas; dan yang selalu
menjadi acuan adalah USD. Dimana pada awalnya kurs rupiah antara 9500 -10.000/USD menjadi antara 13000-13500/USD. Terjadi devaluasi hingga 33%, yang berarti value dari pada rupiah menjadi turun dan tentunya sangat mempengaruhi nilai APBN dan APBD. Ditambah lagi penyerapan APBD yang tidak maksimal dan kurang dari 60% khususnya ibukota Jakarta yang menjadi pusat peredaran uang untuk seluruh Indonesia.

Pencabutan subsidi listrik yang diberlakukan secara keseluruhan dengan bertahap, sehingga menjadikannya sebagai tarif listrik termahal di Asia Tenggara (11cents/kwh); serta ketidakpastian ekonomi dunia global, akibat dari perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Dan itu merupakan beberapa faktor internal dan eksternal yang menbuat ekonomi mikro kita hampir ambruk.

Hal yang paling mengkhawatirkan; dan sudah ada gejala bahwa; akan terjadi penurunan produksi yang akan berakibat terjadinya pengurangan tenaga kerja atau terjadi PHK secara besar-besaran.

Pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara besar-besaran dalam 2,5 tahun terakhir ini dengan biaya ratusan triliun untuk setahunnya; dalam waktu menengah pendek belum akan mampu mendorong ekonomi secara keseluruhan.

Pemerintah, khususnya tim ekonominya dari sisa waktu tahun 2017 dan 2018 harus mampu mengunakan dana APBN yang lebih bermutu untuk jangka menengah pendek dan segera membuat regulasi atau stimulus untuk mendorong sektor ekonomi mikro, dan negosiasi pembayaran utang yang jatuh tempo harus menjadi prioritas.

Pembangunan infrastruktur hendaknya dilakukan secara komprehensif sejalan dengan pengembangan zona-zona industri dan pelabuhan-pelabuhan internasional dan infrastruktur pendukungnya secara optimal. Sehingga mampu menghadirkan investasi di sektor rill untuk jangka menengah panjang; tentunya disamping gegap-gempitannya investasi di portofolio.

Sebenarnya kita memilliki segalanya untuk dapat mendatangkan investasi yang bermutu, karena kita mempuyai sumber bahan baku dan sumber daya manusia yang cukup melimpah dengan penduduknya yang hampir mencapai 250 juta.

Namun saat ini indeks kemudahan investasi Indonesia masih berada di peringkat 90. Walaupun ada kemajuan yang dari awal di tingkat 106. Oleh karena itu bangsa Indonesia harus segera melompat lebih tinggi lagi dengan target 30 -40 untuk kemudahan investasi dengan segera berbenah diri dan membuat regulasi dan deregulasi untuk mendorong hal tersebut.

Harapan rakyat Indonesia tentunya hiruk pikuk pesta demokrasi pemilihan kepala daerah yang sebentar lagi akan digelar dan juga tahun depan 2018 adalah tahun politik untuk menuju Pileg dan Pilpres, sungguh diharapkan untuk tidak menberi dampak yang dapat menganggu pertumbuhan ekonomi kita.

*Chandra Suwono, Pengamat Ekonomi, Politik dan Budaya.

Terpopuler

To Top