Nusantarakini.com, Jakarta –
NK tadi pagi bertemu dengan seorang Ayah yang geram dengan sistem sekolah tingkat dasar di Indonesia. Katanya, pagi-pagi sekali anaknya sudah harus tiba di sekolah, minimal jam 07.00 WIB. Untuk hal itu, dia harus mengantarnya setengah jam sebelumnya. Sedangkan yang rumahnya jauh dari sekolah, bisa lebih setengah jam lebih awal.
Tiap hari, para orang tua sibuk mengurusi keberangkatan anak ke sekolahnya. “Coba kalau jam masuknya diundur hingga setengah sembilan, tentu lebih baik dan tidak membuat suasana serba tertekan. Jadi, sejak mulai berangkat ke sekolah, anak-anak kita sudah didera stress, belum ketemu macet, belum pelajaran di sekolah, belum guru yang galak, belum tagihan uang sekolah, semua bikin orang tua dan anak-anak Indonesia dipukul stress. Jangan-jangan sengaja sistem sekolah diciptakan untuk bikin stress kali, ya?” ujarnya emosional.
“Anda coba bayangkan, keadaan begitu berlangsung selama enam tahun di SD. Apa kita tidak dibentuk jadi individu yang panik dan stress? Ini harus dikasi solusi. Saya mau bikin sekolah yang nggak pake sistem yang ada,” tambahnya.
Ketika NK bertanya, sistem seperti apa yang akan mengganti sistem sekolah tingkat dasar yang berlaku, dia menjawab spontan, “Udah, ah. Pokoknya buka sekolah! Konsepmya, bermain sambil sekolah. Masuknya jam 08.30 WIB. Pulangnya jam 12.30 WIB. Kelamaan di sekolah sampai jam 14.00 siang. Mana masuknya pagi sekali, lagi. Kayaknya memang kita dikondisikan jadi manusia panik dan stress tiap pagi. Nggak ada waktu untuk sarapan sekeluarga dengan tenang. Apes ni sistem pendidikan dasar Indonesia.”
Gambaran operasionalnya seperti apa, kejar NK.
“Standard kompetensinya, sederhana saja. Lancar matematika dasar untuk urusan praktis kehidupan sehari-hari seperti berhitung, membagi, mengurangi, dan berkali-kali. Lancar membaca dan menulis. Lancar mengaji. Bisa silogisme.
Tidak perlu terikat kurikulum nasional. Kalo gara-gara nggak pake kurnas lalu sekolahku nggak diakui, biarin. Pokoknya buka sekolah sambil bermain. Tidak nyusahin orang tua dan anaklah.”
“Sebab sistem yang ada, habisin waktu bermain anak saja itu. Asem. Sekolah di Indonesia menjelma menjadi parasit sistemik,” ujarnya panjang lebar. Kedongkolannya terpantul di wajahnya.
“Sebenarnya saya sudah mulai lakukan setahun terakhir. Cuma karena terkendala dana, keberlangsungan aktivitas sekolah belum intensif. Saya pikir sekolah tingkat dasar, tidak perlu buang-buang waktu selama 6 tahun. Ini pembodohan dan diberhalakan secara sistemik. Pokoknya out of the box dari sistem sekolah dasar formal yang berlaku selama ini, deh.”
“Orang tua habis terkuras dananya, terkuras tenaga dan pikirannya. Anak terbuang waktu bermain dan tumbuhnya secara alamiah. Asem. Sementara parasit di pusat, rampok 20% APBN dari pajak saya sebagai rakyat. Asem tenan. Pokoknya harus, nih. Kalau bisa, tidak hanya saya. Semua bergerak keluar dari sistem sekolah tingkat dasar yang formalistik itu. Asem,” katanya dengan nada geram. Sepertinya dia sudah lama memendam geram dengan sistem sekolah tingkat dasar yang berlaku. (das)