Catatan Hari Qurban: Umat Islam Sibuk Betul Menyembelih, Tapi Kurang Hirau Pembagian Dagingnya

Nusantarakini.com, Jakarta –

Tahun demi tahun sepertinya kesadaran untuk berkurban di kalangan umat makin baik dan meningkat. Mesjid-mesjid, mushalla-mushalla, hingga sekolah-sekolah terisi dengan kambing, domba, sapi dan kerbau.

Rupanya umat pada masing-masing tempat tersebut menyelenggarakan penyembelihan hewan qurban. Satu mushalla bisa menyembelih kambing 5 ekor dan kadang-kadang terdapat juga sapi. Satu mesjid bisa menyembelih 7 ekor sapi dan 30 ekor kambing. Satu sekolah bisa menyembelih 3 ekor sapi dan 7 ekor kambing. Dengan gambaran demikian, bukan main melimpahnya daging sebagai sumber gizi manusia pada momen hari raya haji.

Bayangkan ada berapa jumlah mesjid di Jakarta? Bayangkan ada berapa mushalla dan sekolah di Jakarta. Bayangkan, ada berapa mesjid, mushalla dan mesjid di seluruh wilayah Indonesia, lalu kalikan dengan jumlah masing-masing hewan kurban pada mesjid, sekolah dan mushalla di atas? Sungguh suatu angka yang fantastis, bukan? Belum kantor pemerintah, belum organisasi, belum perusahaan, dan belum perorangan. Luar biasa.

Ini sebenarnya revolusi praktik ibadah qurban. Revolusi gaya hidup Muslim kontemporer. Dimulai sejak diterapkannya sistem kurban kolektif dimana masing-masing partisipan mengeluarkan duit hingga mencapai nilai satu kurban sapi. Sejak paham fikh praktis ini merebak, ditambah makin bergairahnya keislaman di dalam masyarakat, maka banjir kurban terjadi dengan fantastis.

Cuma saja, masyarakat Islam terlalu fokus terhadap soal mengeluarkan biaya untuk berpartisipasi dan ikut dalam berkurban. Pokoknya, tahun ini saya sudah berkurban. Begitu cetusan pikiran yang banyak berkembang.

Adapun pembagian daging kurban yang melimpah itu, hampir tidak dihiraukan dan diperhatikan. Pokoknya saya sudah berkurban. Pembagiannya adalah urusan panitia kurban. Mau dibagi ke anak yatim atau masyarakat sekitar, bukan urusan saya lagi. Demikian jalan pikiran yang banyak berkempang.

Padahal, pembagian yang teratur dan tepat sasaran terkait daging hewan kurban ini, tidak kalah pentingnya dengan soal kegairahan umat dalam berkurban tersebut.

Bahkan di Jakarta Selatan ada orang yang berkurban dengan ringannya dititipkan pada panitia tanpa menghadiri penyembelihannya. Dia cuma bilang, kambing ada satu ekor di rumah. Silakan ambil dan sembelih. Pengorbanan macam apa itu? Nilai ibadahnya dimana? Berkurban bukan cuma main titip-titipan kambing begitu saja. Pokoknya kambing diketahuinya disembelih, dia merasa ibadah kurbannya beres. Enteng betul sikapnya terhadap prosesi ibadah warisan Ibrahim AS ini. Ini musti bertolak dari kekurangmengertinya akan ibadah yang satu ini. Barangkali dia terbiasa dengan angka dan nominal, sehingga kurang memperhatikan jiwa suatu ibadah.

Itulah serba-serbi fenomena ibadah kurban dalam dinamika umat dewasa ini. Seperti yang kita ungkapkan di atas, bagaimana pembagian daging kurban tersebut agar berdampak secara sosial dengan tepat sasaran dan produktif, belum banyak dibicarakan. Persoalan ini masih asing dibahas dalam majelis-majelis umat. Umat baru membicarakan bagaimana membangkitkan semangat berkurban, belum maju beranjak bagaimana mengatur pembagian daging secara tepat sasaran dan berdampak produktif.

Mudah-mudahan tahun depan, persoalan distribusi daging qurban sudah lebih teratur, profesional, tidak lagi spontan dan amatiran. Bukan begitu yang kita mau?

~ Kyai Kampung