SBP: Perekonomian Indonesia Kacau-balau, Upaya Rezim Jokowi Sudah Mentok

Nusantarakini.com, Jakarta –

Sudah tidak bisa diingkari lagi perekonomian Indonesia sedang kacau-balau. Memang belum sampai terjadi wabah famine (kekuranga gizi karena kurang makan) atau orang banyak mati karena kelaparan. Ada dan terjadi yang semacam itu, tetapi kasusnya tersebar dan dianggap sebagai hal yang wajar. Orang Indonesia di desa-desa memang begitu. Mereka gampang rela dan mengikhlaskannya kepada Yang Maha Esa. Tapi situasi itu bisa mewabah segera.

Kejadiannya memang tidak seperti akibat perang di Yaman, dimana PBB ikut mengutuk Saudi Arabia yang suka salah membom Tentara Houti, melainkan sekolah, atau pasar, atau keluarga yang sedang melaksanakan pesta perkawinan. Dan tentu yang menjadi korban adalah rakyat sipil biasa. Bagi para ekonom, apa yang terjadi di Indonesia adalah kegagalan perekonomian, selangkah menuju kegagalan Negara.

Sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (SMI) yang pernah disebut jagoan di Asia oleh para Ekonom Mafioso, dia sempat mengeluh beberapa kali. SMI pernah bilang, seharusnya penerimaan APBN itu berasal dari Pajak, bukan dari Utang Luar Negeri/ULN. Pada kesempatan lain, di depan para anggota Dewan, SMI tidak tahu dibelanjakan ke mana utang-utang itu. Dan terakhir dia mengeluh, bahwa situasinya sudah sampai pada “Gali Lubang Tutup Lubang,” berutang ke luar negeri untuk dipakai membayar kembali kewajiban utang yang sudah jatuh tempo.

Karena itu tidak heran, kalau dana-dana di dalam negeri yang masih tersisa dikuras habis, seperti Pension Funds di Taspen, Asabri dan Jamsostek; juga Trust Funds di Badan Setoran Haji.

Memang banyak cara pintar untuk melaksakan Deficit Financing; tapi berbagai cara kiranya sudah mentok. Selain pemerintah sudah tidak punya dana simpanan/tabungan di Bank Sentral dan Bank-bank Umum, sedang Open Market Operation untuk menarik dana masyarakat juga terkendala oleh situasi Crowding Out. Kelompok yang berduit adalah para Taipan Cina. Tetapi mereka sedang sibuk dengan proyek Reklamasi, Meikarta dan infrastruktur-infrastruktur yang mereka segerakan (crash program). Mereka bahkan, sengaja tidak membayar pajak selama 3 tahun terakhir ini atas ijin Jokowi. Dan akan berlanjut selama Jokowi bisa duduk sebagai presiden. Mereka tidak sadar, bahwa itu berakibat defisit besar bagi APBN dan dampaknya bahkan menambah hancurnya perekonomian. Belanja Negara terlalu kecil untuk menciptakan Pendapatan Nasional/GDP.

Utang lagi ke luar negeri hampir tidak bisa dilakukan, karena sudah ada lampu merah dari Bank Dunia dan IMF. Hanya dalam waktu 2,5 tahun saja, ULN baru Jokowi sudah tercatat sekitar USD 50 M. Dan dana talangan yang tak tercatat sekitar sebanyak itu pula!

Ada hal menarik lagi. Majalah Forbes sempat meledek Jokowi yang mengatakan pertumbuhan Pendapatan Nasional Indonesia tertinggi di Asia, sesuatu yang tidak mungkin. Jokowi lalu mencoba mengoreksinya dengan mengatakan, bahwa dia lebih menekankan pemerataan. Selain bohong, karena tidak ada tanda-tanda melakukan program pemerataan, pastilah Jokowi juga tidak tahu bagaimana melakukannya. Bahkan, ketika Forbes mengatakan apa yang mau dibagi untuk pemerataan kalau tidak ada pertumbuhan, Jokowi tidak bisa menjawab. Tentulah Jokowi, mungkin juga Darmin Nasution, Sri Mulyani Indrawati dan ekonom Forbes, tidak tahu bahwa sejak 70-an sudah ada konsep Distribution with Growth, atau Growth with Equity.

Rezim Jokowi sudah menyadari sejak awal, bahwa akan ada pengeluaran yang luar biasa besar sebagai hasil komitmennya dengan RRC untuk membantu Program One Belt One Road (OBOR), sekiranya menjadi Presiden RI. Karena itu, dibuatlah Program Tax Amnesty. Ternyata Program ini gagal total. Taipan-taipan Indonesia yang membawa lari uang hasil rampokannya ke luar negeri tidak terlalu percaya kepada Jokowi. Sehingga USD 4000 M yang diharapkan masuk tidak pernah terjadi. Mereka lebih percaya menanam uangnya di LN.

Terakhir yang bisa dicoba dilakukan oleh SMI adalah menaikkan pajak dari para Pribumi yang sudah miskin. Perbuatan ini, selain jahat juga tanpa otak. Yang dilakukan oleh SMI adalah menurunkan garis kemiskinan, dari USD 2 menjadi Rp 10.000,-; yang mestinya akan disusul dengan menurunkan pula batas Pendapatan Tidak Kena Pajak.

Selain itu, pajak juga dikenakan kepada para petani, antara lain, yang sudah terjadi adalah petani tebu, yaitu dengan mengenakan PPN terhadap pabrik-pabrik gula. Sebagai akibatnya, gula produksi dalam negeri tidak laku, menumpuk, lalu yang dipasarkan adalah gula impor. Akibat buruknya lebih daripada itu. Dana di dalam negeri yang dibutuhkan justru lari ke luar negeri untuk impor. Lalu para petani tebu dan pabrik gula akan mati; dan kemungkinan lahan mereka akan diserobot para Taipan. Padahal di negeri-negeri maju, sektor pertanian, sebagai sektor penyedia bahan makanan, selalu dilindungi dan mendapat subsidi! Apa yang dilakukan Rezim Jokowi sudah mentok di mana-mana; tinggal menunggu suatu pemicu untuk menempatkannya pada situasi penjatuhan.

Tidak banyak yang menyangka, bahwa hal itu terjadi karena Ahok selip lidah dari lubuk hatinya yang penuh kebencian kepada Pribumi dan umat Islam, sehingga muncul ujaran kebencian Al Maidah 51. Akibat selanjutnya, Ahpk dipenjara dan tidak bisa menjadi Gubernur DKI Jakarta. Semuanya kemudian menjadi berubah. Oktober nanti Anies-Sandi menjadi Gubernur. Sekalipun sudah mencoba dengan berbagai cara untuk “mengikat” atau berpihak kepada para Taipan, skenario yang sudah disusun pada masa Ahok pasti berubah. Misalnya saja, tidak mungkin lagi 17 pulau Reklamasi akan jalan; bahkan seluruhnya mungkin batal. Adanya pulau C, D dan G saja tidak akan membantu. Padahal ratusan trilyun sudah terbuang. Para Taipan, seperti Sedayu dan Podomoro gigit jari dan mulai menerapkan rescue program.

Juga Meikarta. Siapapun yang menang menjadi Gubernur Jabar, tidak akan mendukung Meikarta sepenuhnya. James Riady seakan menegakkan benang basah. Milyaran promosinya akan dianggap bohong. Sebab para calon pembeli kavling tahu, Jokowi ada di ujung tanduk. Jokowi sedang dalam ancaman Bos-nya di RRC. Jokowi harus mempercepat penyelesaian program OBOR yang semula dirancang 10 tahun menjadi 5 tahun. Itu pun kalau dalam waktu pendek ini tidak keburu jatuh.

Jadi apa yang dilakukan Jokowi, Sri Mulyani dan Rezim pendukung pada umumnya adalah buru-buru, sibuki, disertai dengan kepanikan yang luar biasa. Yaitu, dalam situasi dana langka, bagaimana menyelesaikan proyek infrastruktur khas Jokowi (denganb OBOR RRC) secepatnya. Bagaimana mendatangkan 10 juta Cina-cina migran dari RRC secepatnya. Bagaimana menyelamatkan citra Jokowi dari tuduhan Komunis, Anti Islam, Anti Pribumi dan Pro Cina. Bagaimana mencegah rakyat dari keresahan akibat keadaan ekonomi yang semakin mencekik. Dan bagaimana tetap mengikat para anggota Rezim untuk tetap loyal tanpa melakukan ‘korupsi ria’ dan perampokan terhadap Keuangan Negara sendiri-sendiri.

Dalam keadaan sibuk, panik, dan buru-buru itulah berbagai kemungkinan salah langkah bisa terjadi. Itulah saat Rezim Joko-Jeka terjatuh. Mirip dengan situasi Mei 1998, ketika Wiranto mengancam tembak di tempat, mereka yang berunjuk rasa di luar kampus. Lalu terjadilah Tragedi Trisakti. Kiranya, kali ini pun akan terjadi tragedi yang serupa. [mc]

*Sri Bintang Pamungkas, Ekonom.