Nusantarakini.com, Jakarta –
Perang dingin yang diyakini banyak kalangan sebagai perang dunia ketiga berakhir dengan rontoknya Uni Soviet pada tanggal 26 Desember 1991, dan dimenangkan secara mutlak oleh Amerika Serikat (AS). Maka sebuah dunia unipolar yang didominasi oleh kekuasaan tunggal tanpa tanding dan berpengaruh untuk menentukan seluruh sudut bumi, membuka babak baru dalam kehidupan dunia global.
Dengan kekuasaannya yang begitu dominan, AS mempunyai kepentingan besar dengan dunia yang dibentuknya, karena hal itu sangat menguntungkan AS dan sekutunya. Oleh karena itu kekuatan hegemonik akan memproyeksikan nilai dan lembaga mereka ke negara subordinat.
Nilai-nilai Demokrasi Barat, HAM, liberalisasi, privatisasi dan pasar bebas telah membentuk dunia dimana kita hidup, sedemikian dalam dan mengakar luas serta menjalar hingga kita anggap sebuah kewajaran yang mutlak kita anutan. Karena tanpa itu negara tidak menjadi maju modern dan rakyat tidak akan sejahtera.
Senada dengan teori Francis Fukuyama bahwa masa depan dunia akan terbentuk secara universal dengan prinsip-prinsip pasar bebas, demokrasi barat, dan akan diadopsi secara mutlak oleh negara berkembang untuk menjadi maju dan modern. Dan bila pencapaian akhir negara-negara berkembang menjadi modern, akan sama dengan AS, maka dunia akan semakin terbaratkan.
Serangan 9-11-2001 dan kegagalan invasi militer AS ke Irak; serta ambruknya finansial AS di tahun 2008 yang dimulai dari sektor properti perumahan rakyat, belum melahirkan pengakuan umum tentang akan terkikisnya pengaruh AS di masa yang akan datang.
Kebangkitan China akan mengubah dunia yang kita kenal selama ini. Dari sebuah dunia yang diciptakan oleh Barat, menjadi dunia yang semakin banyak dibentuk oleh China; dan telah mematahkan teori Francis Fukuyama, karena tanpa mengadopsi ideologi AS dan tidak kebarat-baratan serta tidak terbaratkan.
China bangkit dengan karekteristik DNA bangsanya sendiri dan dari sebuah kebudayaan dan sejarah panjangnya yang telah berumur lima ribu tahun sejak sebelum masehi (SM) menjadikannya sebagai acuan dan pengalaman untuk berbangsa dan bernegara.
Kita akan sangat sulit sekali menemukan Starbuck Coffe di kota-kota besar di China, tapi kita akan sangat mudah mendapakan “Kedai Teh” di jalan-jalan di seluruh sudut kota di China. Demikian China maju menjadi modern dengan karekteristik DNA-nya dan kebudayaannya.
China sudah menerapkan birokrasi yang efisien dan pemilihan pimpinan yang murah dan efisien. Negara juga menghargai inovasi rakyatnya dan diberi ruang untuk berkreasi. Modernisasi segala bidang, di sektor pertanian, industri, teknologi serta stabilitas politik dan keamanan nasional selalu terjaga. Dengan itulah yang membuat China bangkit dan melewati hegemoni AS.
Bangsa Indonesia sebenarnya juga memiliki sejarah panjang dan kebudayaan sesuai dengan karekteristik DNA bangsa sendiri. Kita pernah mempuyai Kerajaan Mataram, Sriwijaya, serta Majapahit yang jauh lebih berumur dari AS. Selayaknya kita lebih menggali karekteristik kebudayaan bangsa kita sendiri, daripada mengikuti menjadi kebarat-baratan.
Oleh karena itu kita harus mampu maju menjadi negara yang modern dengan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan dan kembali ke DNA-nya bangsa yaitu Demokrasi Pancasila, dengan kebudayaan gotong royongnya, tanpa harus mengadopsi ideologi dari negara lain.
Cerminkan sila ke empat dari Demokrasi Pancasila, rakyat dipimpin oleh negarawan yang memiliki hikmah kebijaksanaan dan dipilih di dalam permusyawaratan dan perwakilan, sehingga akan menjadi lebih efisien dan murah.
Serta akan terpilih pemimpin yang lebih profesional, kompeten dan negarawan yang berwawasan kebangsaan sebagai pemimpin bangsa; karena dipilih dalam kelembagaan negara. Sehingga akan ternihilkan pencitraan palsu serta hiruk-pikuk propaganda, provokasi agama dan suku yang justru tidak mencerminkan karakter dan budaya bangsa. Serta mampu dijadikan sebagai landasan untuk menjadi negara maju dan tercapainya kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. [rm]
*Chandra Suwono, Pemerhati Ekonomi, Politik dan Budaya.