Nusantarakini.com, Jakarta –
Banyak yang menyangkal bahwa Indonesia tidak sedang dijajah. Kenyataannya negeri ini sedang dijajah. Kalau negeri ini tidak dijajah, mana mungkin ekspor babu ke Arab, Malaysia dan ke Hongkong berlanjut hingga sekarang. Kalau bukan dijajah, mana mungkin ada rencana gagal reklamasi Teluk Jakarta, Kota Meikarta, dan utang kompleks ke RRC. Mana mungkin Indonesia berpresidenkan orang yang kayaknya boneka.
Penduduknya diperjualbelikan sedemikian rupa, malahan diatur oleh suatu kementerian dan lembaga yang mengurus ekspor babu.
Jerih payah babu itu dinikmati oleh pejabat-pejabat dan pengusaha-pengusaha yang bertindak sebagai penjajah.
Di desa-desa, kemiskinan meluas. Namun sumber daya alam mereka dikeruk dan dijual ke luar negeri.
Utang luar negeri tiap tahun dicetak meningkat. Jaminannya seisi negara plus bayi-bayinya.
Pengatur negeri ini laksana siluman. Mereka tak terlihat oleh mata rakyat, tapi mengatur siapa menteri, siapa bupati, siapa gubernur dan siapa presiden.
Alim ulamanya mata duitan. Sekali suap, komat-kamit bibirnya yang semula berbunyi Allahu Akbar, menjadi Fulusu Akbar.
Teramat pahit jika semuanya dipaparkan. Tapi yang jelas, Indonesia dijajah dari tiga jalur.
Jalur pertama, ekonomi dan bisnis. Di jalur ini, ada mafianya. Ada sindikatnya. Ada rezimnya. Ada penjajahnya. Mulai hulu ke hilir, mulai dari produksi, distribusi, pasar hingga permodalan, ada segolongan yang berkuasa semau-maunya. Makanya tiba-tiba, cabe langka, daging langka, garam mahal, dan seterusnya.
Jalur kedua, jalur administrasi dan politik. Di jalur ini ada juga penjajahnya. Perizinan, penempatan karir, lisensi, peraturan yang dibuat untuk nyekek dan meras, di jalur ini mainnya. Ini diperankan oleh pribumi-pribumi feodal yang korup. Kalau yang di atas, dijalankan oleh sebagian besar etnis China.
Ketiga, jalur etika, moral dan spritual. Ini sebenarnya beririsan dengan area agama dan budaya. Di jalur ini pun ada penjajahnya. Permainannya adalah manipulasi agama, etika, moral dan spritual demi mendukung penjajahan ekonomi, bisnis, administrasi dan politik.
Ketiga pemain yang menjajah di masing-masing jalur ini berkolaborasi satu sama lain.
Yang pertama mengeksploitasi, yang kedua mengorupsi, dan yang ketiga, memanipulasi semangat dan kesadaran rakyat.
Itulah sebabnya rakyat Indonesia tidak kreatif, pudar, lesu, keluh-kesah, tidak semangat, suka kehilangan keberanian dan fokus, dan memble di hadapan para penjajah itu.
Hanya dengan memberikan mereka alat politik yang bukan partai-partai yang ada sekarang, tapi suatu partai yang benar-benar revolusioner demi membasmi tiga jalur penjajahan tersebut, maka persoalan yang mendera nasib penduduk negeri ini dapat terbantu mengatasinya.
~ John Mortir