Analisa

WOWWW….Presiden Sedang Perlu Sensasi: Dana Haji untuk Infrastruktur

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Pada saat melantik Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), 26 Juli 2017, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melemparkan gagasan agar dana haji yang jumlahnya cukup besar itu, diinvestasikan untuk pembangunan infrastruktur.

Tidak dirinci dana yang mana: setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) atau dana abadi umat. Kalau dilihat besarannya, hampir pasti yang dimaksudkan Presiden adalah BPIH yang jumlahnya 90 triliun rupiah. Sedangkan dana abadi umat hanya Rp3 triliun. Atau, bisa juga kedua-duanya.

Salah satu atau kedua-duanya, reaksi yang muncul hampir seragam; yaitu mengingatkan BPKH agar berhati-hati mengelola dan haji. MUI mengambil sikap yang paling aman. Mereka menegaskan, BPIH hanya boleh dipakai untuk penyelenggaraan ibadah haji, tidak untuk diinvestasikan. Meskipun, seperti dikatakan Jokowi, investasi itu akan memberikan keuntungan yang jelas, yang kemudian bisa berperan untuk mempermurah biaya haji di masa depan.

Bagi orang awam seperti kita, yang mengemuka menjadi pertanyaan adalah: apakah Presiden sudah sebegitu susah mencari pinjaman baru untuk merealisasikan ambisi pembangunan infrastruktur? Atau, apakah Jokowi sungguh-sungguh ingin membantu agar BPIH bisa memberikan manfaat tambahan. Tidak hanya diparkir di bank.
Ada kemungkinan Jokowi kehabisan atau kekurangan dana untuk menuntaskan proyek-proyek ambisius yang mempertaruhkan citra pribadinya.

Kita juga pantas bersangka baik bahwa Jokowi ingin mengaktifkan BPIH untuk mendapatkan “bonus” investasi. Cuma, banyak aspek syariah yang tidak mendukung.

Apa pun jawaban untuk kedua pertanyaan ini, yang lebih dulu kelihatan adalah bahwa Jokowi tidak paham betul tentang masalah yang dibicarakannya. Atau, lagi-lagi beliau tidak mendapatkan masukan yang tepat dari tim pembisiknya.

Bisa jadi pula, Kantor Staf Presiden (KSP) yang bertugas menyiapkan apa-apa yang perlu diucapkan Jokowi, tidak memahami status syariah BPIH. Atau, bisa juga mereka tahu tetapi memberikan advis “investasi infrastruktur” itu hanya sekadar ingin meramaikan situasi saja.

Yang terkena jebakan adalah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Dia mengatakan BPIH boleh dipakai untuk membiayai proyek infrastruktur. Sedangkan MUI mengatakan tidak boleh. Sekarang, Pak Menteri terjepit di antara “keinginan” Presiden dan reaksi “tak setuju”. Dalam isu ini, Lukman kelihatan ingin menyenangkan Jokowi tetapi juga sadar bahwa menginvestasikan BPIH akan menimbulkan kontroversi baru.

Usul investasi yang disampaikan Jokowi itu membuat orang tertanya-tanya tentang siapa-siapa saja yang mengisi KSP, dan mengapa mereka sampai tidak sensitif terhadap masalah yang pasti akan memicu reaksi keras. Sebetulnya, personel KSP adalah orang-orang “hebat”. Hanya saja, kehebatan mereka belakangan ini banyak yang menjerumuskan Jokowi.

Kita sedih, dan tidak ingin, melihat KSP yang berpersonel pilihan itu bagaikan “kumpulan pegawai pemda” yang lebih banyak menggelar papan catur atau kartu gaplek ketimbang menunjukkan kinerja.

KSP adalah “the brain of the President”. Mereka adalah pemikir untuk Presiden. Di mana pun itu, tidak hanya di Indonesia. Kecuali kalau Presiden memang ingin bersensasi guna mengaburkan kelemahan. Jika ini tujuannya, tidak heran kalau Jokowi mengusulkan penggunaan BPIH untuk proyek prasarana (infrastruktur).

Atau, bisa juga usul investasi BPIH ini mengingatkan orang pada Bapak ilmu politik modern, Niccolo Machiavelli, yang mengatakan bahwa “Cara pertama untuk melihat kecerdasan seorang penguasa adalah dengan melihat orang-orang yang ada di sekelilingnya.”
Sinyalemen Machiavelli ini tidak harus bermakna KSP tidak hebat, melainkan bisa diartikan juga tidak cermat alias “reckless” (ceroboh).

*Asyari Usman, Penulis adalah wartawan senior.
Sumber: FB Asyari Usman [mc]

Terpopuler

To Top