Nusantarakini.com, Jakarta –
Apa yang ada dalam benak sahabat sekalian saat mendengar kata Ngruki? Atau Ponpes Al-Mukmin Ngruki? Sebagian besar dari kita mungkin terpikir hal lain, teroris.
Ponpes ini terkenal sebab Abu Bakar Baasyir yang sampai saat ini dipenjara sebab tuduhan terlibat dalam aksi terorisme, jadilah Ponpes ini diopinikan buruk secara terus menerus.
Demikianlah media menstigmatisasi negatif terhadap sesuatu. Berita yang diulang-ulang, walau salah akan dianggap benar, jadilah kata ‘Ngruki’ ditakuti banyak orang.
Padahal apa yang disampaikan di media belum tentu benar, karenanya dalam Islam kita diperintahkan Allah untuk selalu tabayun (kroscek), dalam satu pemberitaan.
Buktinya pembicara sekelas saya saja (yang bahasannya pacaran, hijab, segala yang unyu-unyu dan kiyut-kiyut), boleh memberikan kajian di Masjid Ponpes ini.
Apalagi di era medsos, dimana siapapun bisa dengan bebas menuduh, hanya dengan modal meme dan screenshot, atau penggalan tulisan dan pernyataan.
Itu bila individu atau kelompok yang melakukan fitnah, bagaimana bila penguasa di suatu negeri yang justru merancang fitnah? Tentu ngeri Efeknya.
Nggak kok, itu bukan di negeri kita, itu kejadiannya di negeri lain di antah barantah. Di situ penguasanya justru menebar hoax, pencitraan dan kebohongan yang dilegalkan.
Ulama salih bisa dituduh berbuat mesum hanya dengan fake-chat tanpa aduan, sedekah dianggap money loundering, dan penyiraman air keras sebab istri jual jilbab online.
Itu baru sedikit fakta diantara bejibun yang terlalu jelas untuk diungkap satu-persatu. Batas pemilihan 20% dan perppu maksa untuk membubarkan ormas Islam, itu juga.
Kedzaliman yang terlembaga, kedzaliman yang terlegitimasi, ketidakadilan yang punya dasar hukum. Dan kita semua dipaksa mengangguk bila tidak mau kena imbasnya.
Dan di saat itu, siapa yang berani berbicara akan dianggap sebagai musuh negara, dan teguh dalam aqidah dianggap sebagai kesesatan dalam bernegara.
Tak lagi mempedulikan sebetapapun cinta kita pada negeri ini, juga pada ummat manusia yang berada di dalamnya. Di saat itu, semua yang berseberangan, tak bisa benar. [mc]
*Felix Siauw, Mu’allaf Tionghoa.