Nusantarakini.com, Jakarta –
Rasanya hampir tidak ada lagi kata yang pas dan tepat menggambarkan watak dan sikap rezim berkuasa saat ini yang dipimpin oleh Presiden Jokowi. Mulai dari kata Anti Demokrasi, Jiwa yang Kosong, Otoriter, Tirani, Diktator dan berbagai macam istilah telah disematkan kepada rejim ini sebagai simbol sikap dan kebijakannya.
Belum lagi mengidentikkannya dengan Louis XVI dari Perancis yang perilakunya dicontoh saat ini. Padahal
Louis XVI yang memajaki rakyat tinggi dan menindas rakyat serta menjadikan dirinya adalah hukum, akhirnya jatuh diturunkan rakyat dan berakhir tragis dihukum pancung atas segala dosa dan kekejamannya selama memerintah. Itulah Bastille Day yang baru saja diperingati Perancis tanggal 14 Juli lalu sebagai hari kebebasan atau hari kemerdekaan.
Kejadian kemarin yang berlangsung di gedung parlemen DPR RI adalah wujud nyata bagaimana Jokowi sebagai kepala pemerintahan menjadikan dirinya sebagai hukum. Memaksakan kehendak untuk menetapkan RUU Pemilu dengan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold sebesar 20% adalah bentuk pembunuhan Demokrasi, mematikan demokrasi. Demokrasi dibunuh anti demokrasi.
RUU Pemilu yang berakhir tragis disahkan tadi malam dalam sidang Paripurna yang di pimpin oleh seorang tersangka mega korupsi EKTP Setya Novanto menjadi titik didih dibakarnya ruh demokrasi yang harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, mengedepankan prinsip adil, jujur dan terbuka dalam pemilu serta harus mengacu kepada konstitusi berbangsa dan bernegara. Mati sudah ruh demokrasi dan membusuk ditangan rejim anti demokrasi ini.
Sejak awal sidang dimulai pada menjelang siang, sudah terlihat para anti demokrasi itu bersuara keras agar segera dilakukan pemungutan suara atau voting menetapkan Presidential Threshold. Padahal mereka adalah dari kelompok yang selalu keras bersuara Saya Pancasila. Ternyata mereka memang tidak paham Pancasila itu apa. Terbukti dengan sikap ngotot untuk segera voting mengabaikan Sila ke-4 Pancasila yang mengedepankan musyawarah mufakat. Tampaknya juga mereka itu memang anti Pancasila dan penganut ajaran liberalisme.
Yang mengerti Pancasila dan berjiwa Pancasilais dapat dipastikan akan mengedepankan musyawarah untuk mufakat, bukan menutup pintu ruang musyawarah.
Mungkin akan ada yang menjawab atau bertanya, bukankah sudah dilakukan loby untuk musyawarah mufakat? Betul demikian, namun sungguh loby itu sama sekali tidak menunjukkan adanya upaya untuk musyawarah mufakat, karena Pemerintah dan para pendukungnya tetap bergeming dan tidak mau bergeser dari angka 20%. Jadi untuk apa ada loby jika ternyata tidak ada semangat musyawarah didalamnya?
Musyawarah bukan menunjukkan sikap ngotot tapi sika membuka diri dan menegosiasikan alternatif kebijakan atau keputusan, itulah musyawarah untuk mufakat.
Kembali kepada pembusukan Demokrasi. Di dalam Konstitusi berbangsa dan bernegara jelas disebutkan di dalam Pasal 6A Ayat 2 UUD 45 disebutkan “Pasangan Calon Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Garis bawahi kata sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Kemudian lanjutkan kepada Pasal 22E ayat 3 untuk menjawab pasal 6A tersebut tentang Partai Politik mana yang berhak mengajukan calon presiden? Yaitu Partai Politik yang mengikuti pemilu legislatif. Apa kaitannya dengan Presidential Threshold?
Dengan pasal tersebut bahwa seluruh partai politik memiliki hak yang sama dan adil dalam pemilu yaitu sama-sama berhak mengajukan calon presiden. Karena 2019 akan ada partai politik baru yang ikut pemilu dan mereka belum memiliki suara, maka demi prinsip kesamaan hak dan keadilan dalam pemilu, yang namanya Presidential Threshold harus dihapuskan atau di nol kan. Karena jika tidak di nol kan, maka prinsip adil itu tidak terpenuhi.
Alasan selanjutnya mengapa Presidential Threshold harus di nol kan adalah, ketidaktepatan menggunakan hasil suara pemilu 2014 sebagai acuan dari perolehan suara, karena pemilu 2014 belum tentu dan dapat dipastikan hasilnya tidak sama dengan pemilu 2019.
Contoh, PDI dan Golkar peraih suara terbesar 2014 lalu, mungkin saja nanti 2019 PDIP hanya sisa 3% dan Golkar hanya dipilih 2%. Semua itu tidak tertutup kemugkinan karena rakyat pasti melakukan evaluasi terhadap partai dan kinerjanya.
Demikian juga Jokowi yang pemilu lalu menang di 53% mungkin saja pemilu 2019 hanya mendapat 5%, tidak ada yang tahu.
Maka menggunakan hasil pemilu 2014 sebagai acuan adalah sebuah upaya pembusukan sistematis terhadap demokrasi oleh kelompok anti demokrasi yang ingin berkuasa selamanya meski kinerjanya buruk.
Pertanyaan yang menggelitik, jika memang harus gunakan hasil pemilu yang sudah kadaluarsa dan lewat di masa lalu, aturan mana yang menetapkan menggunakan hasil pemilu 2014 sebagai acuan? Mengapa tidak menggunakan hasil pemilu 2009 saja?
Berhentilah membusukkan demokrasi sebelum rakyat yang tertindas hak demokrasi dan hak politik serta hak ekonominya bangkit melawan. Karena penindasan adalah api sebuah revolusi. [mc]
Jakarta, 21 Juli 2017
*Ferdinand Hutahaean, Rumah Amanah Rakyat-Bela Tanah Air