Analisa

Skenario ‘Papa Minta Saham’ Jilid II. Begini Kata Indra JP

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Pilkada serentak tahun depan digelar pada tanggal 27 Juni 2018. Tepat sebelas bulan sepuluh hari sebelum pelaksanaan pilkada serentak itu, yakni pada tanggal 17 Juli 2017, Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka kasus KTP Elektronik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI.

Sekalipun Partai Golkar sudah “mempersiapkan diri” dalam artian menyadari posisi yang rentan terhadap jabatan Setya, banyak pihak internal yang terkejut dengan proses yang dianggap terlalu cepat itu. Apalagi, Setya berada dalam urutan nomor empat setelah Irman, Sugiharto dan Andi Agustinus yang notabene bukan politisi. Setya adalah politikus pertama dalam kedudukan sebagai anggota DPR RI yang dinyatakan sebagai tersangka.

Layak dicatat betapa Setya berada dalam posisi sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI pada periode 2009-2014. Masih terdapat posisi yang lebih tinggi dalam tubuh DPR RI, ketika proses pengambilan keputusan atas proyek KTP Elektronik itu terjadi. Paling tidak, terdapat Pimpinan DPR RI yang terdiri dari Ketua DPR RI dan jajaran Wakil Ketua DPR RI dalam struktur DPR RI. Partai Golkar juga bukan partai pemenang pemilihan umum, baik untuk legislatif, ataupun untuk kedudukan presiden dan wakil presiden RI.

Dibandingkan Pimpinan DPR RI yang bertugas mengambil keputusan-keputusan penting, Ketua Fraksi hanya bertugas untuk mengoordinasikan kegiatan anggota fraksi dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPR, dan meningkatkan kemampuan, disiplin, keefektifan, dan efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan tugas yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR RI. Fraksi juga bertanggungjawab untuk mengevaluasi kinerja anggotanya dan melaporkan hasil evaluasi tersebut kepada publik.

Dengan penetapan Setya sebagai tersangka, terasa sekali betapa seluruh Fraksi Partai Golkar DPR RI periode 2009-2014 memiliki tanggungjawab moral dan politik terhadap kasus KTP Elektronik. Sekaligus, Fraksi Partai Golkar menjadi pihak terdepan dalam mengeksekusi segala sesuatu yang terkait kasus KTP Elektronik ini. Selain itu, Fraksi Partai Golkar adalah perpanjangan tangan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar. Sebagai perpanjangan tangan, Fraksi Partai Golkar bertugas menjalankan kepentingan-kepentingan konstitusional dan keputusan-keputusan strategis partai yang dibebankan oleh DPP Partai Golkar.

Dengan menempatkan Ketua Fraksi Partai Golkar sebagai tersangka, berarti secara politik sedang terjadi upaya untuk menyeret DPP Partai Golkar sebagai biang keladi dari persoalan KTP Elektronik ini.

Terasa sekali, dengan penetapan Setya, Partai Golkar sedang dibenamkan ke masa lalu, dihancurkan di masa kini, serta ditenggelamkan di masa depan. Framing yang dibuat begitu dahsyatnya, bahkan melebihi kasus “Papa Minta Saham” yang juga muncul menjelang pilkada serentak tahun 2015. Sebagaimana diketahui bahwa Partai Golkar benar-benar hancur lebur dalam pilkada serentak 2015 itu, yakni berada pada posisi ke-10 dibandingkan dengan seluruh partai politik lain. Bahkan, Partai Golkar kalah dari Partai Bulan Bintang.

Selain dualisme kepengurusan yang menyebabkan sebagian (besar) kader Partai Golkar memilih jalur perseorangan atau menggunakan kendaraan partai politik lain, stigma terbesar yang terjadi pada waktu itu adalah kampanye besar-besaran dengan tema “Papa Minta Saham”.

Belakangan, sejarah hukum mencatat, betapa Setya sama sekali tak terlibat dalam kasus “Papa Minta Saham”. Keputusan lembaga hukum tertinggi, yakni Mahkamah Konstitusi (MK) RI sudah menyatakan betapa penyadapan yang dilakukan adalah bertentangan dengan hukum.

Mari kita ulangi dua keputusan MK terkait uji materi UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Eelektronik (ITE) dan UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) , yakni:

Pertama, MK menyatakan informasi elektronik sebagaimana diatur UU ITE dan UU Tipikor tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat selama frasa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya sebagaimana diartikan sebagai alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Kedua, MK juga menyatakan bahwa dalam pemberlakuan penyadapan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu atas permintaan penegak hukum sebagaimana yang diatur UU ITE.

Dengan kata lain sadapan terhadap Setya Novanto dalam kasus Papa Minta Saham ilegal. Sebab, rekaman tersebut tidak diminta oleh penegak hukum. Pihak lain yang merekam pembicaraan Setya dan koleganya itu sama sekali bukan aparat hukum yang sedang bertugas. Apabila rekaman seperti itu bisa dengan bebas digunakan sebagai bukti-bukti atau fakta-fakta penegakkan hukum, bisa diperkirakan bagaimana kisruhnya negara ini. Setiap orang dengan bebas bisa menyebarkan rekaman-rekaman yang dimiliki. Setiap orang kini mempunyai alat perekam di tangan masing-masing, baik berupa rekaman audio, maupun rekaman audio visual. Smartphone yang kian murah, namun juga kian canggih, dengan mudah melakukan kegiatan perekaman tanpa ada alasan hukum, apalagi persetujuan dari pihak yang direkam.

Tapi toh, terbebasnya Setya dari kasus “Papa Minta Saham” sama sekali tak bisa mengembalikan kemenangan kepada Partai Golkar pada pilkada serentak 2015 yang diadakan di 269 provinsi, kabupaten dan kota. Kekalahan yang diderita Partai Golkar itu, selamanya melemahkan kedudukan partai di mayoritas daerah yang dimenangkan partai-partai lain. Untunglah, dalam pilkada serentak di 101 provinsi, kabupaten dan kota pada tahun 2016, Partai Golkar kembali unggul. Partai Golkar menjadi juara dalam meraih kemenangan, meninggalkan partai-partai pesaingnya. Salah satu faktor yang menopang keunggulan itu adalah kepemimpinan Setya di dalam tubuh Partai Golkar.

Kini, di tengah persiapan kader-kader Partai Golkar guna memenangkan pilkada serentak yang dihelat di 171 provinsi, kabupaten dan kota, terjadi upaya yang sepertinya juga mengambil skenario “Papa Minta Saham”. Sejumlah judul berita di media massa mencerminkan itu. Penggalan judul “Lolos Papa Minta Saham, Setya…” muncul di media. Periksa saja judul-judul dimaksud, sebagai framing yang digerakkan seolah-olah Setya tak memiliki sandaran legal ketika dinyatakan tak terlibat dalam kasus “Papa Minta Saham” itu.

Ada skenario yang sengaja digerakkan bahwa Partai Golkar wajib untuk dikalahkan, bahkan sebelum perhelatan pilkada sendiri berlangsung dengan sengit, dengan cara-cara yang mudah dibaca…
(Bersambung)

*Indra J Piliang, Dewan Pakar Partai Golkar.  [mc]

Terpopuler

To Top