Nusantarakini.com, Jakarta –
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 yang disampaikan oleh Menkopolhukam Wiranto pada Rabu 12 Juli 2017 lalu itu, kini menuai kritik dan penolakan dari masyarakat.
Akademisi dan Praktisi Statistika Kuantitatif, Kusman Sadik mengatakan, beberapa lembaga dan media melakukan polling untuk mengukur respon masyarakat terhadap Perppu tersebut. Hasilnya tentu cukup mengejutkan bagi Menkopolhukam karena ternyata mayoritas masyarakat menolaknya.
“Hasil akhir (final results) polling yang dilakukan oleh CNN Indonesia melalui akun Twitternya @CNNIndonesia, 64 persen menyatakan tidak setuju pada Perppu tersebut dan 36 persen menyatakan setuju. Total responden yang memberikan suaranya sebanyak 8.873 orang,” kata Kusman Sadik dalam keterangan lewat akun facebooknya.
Hasil yang lebih fantastis, kata Kusman, adalah polling yang dilakukan oleh BeritaSatu TV melalui akun Twitternya @BeritasatuTV. Hingga polling ditutup, dari 6.198 orang yang memberikan respon, terdapat 90 persen yang menyatakan tidak tepat pemerintah mengeluarkan Perppu Ormas. Sementara hanya 9 persen yang menyatakan tepat dan sisanya 1 persen menyatakan tidak tahu.
“DPR sebagai lembaga legislatif juga turut melakukan polling melalui akun Twitter resmi mereka @DPR_RI. Hingga polling ditutup, dari 29.576 orang yang menyatakan tidak setuju terhadap Perppu tersebut sebanyak 60 persen. Sementara yang menyatakan setuju hanya 34 persen. Sisanya sebanyak 4 persen menyatakan belum tepat dan terdapat 2 persen yang menyatakan tidak peduli,” ungkap Kusman.
Sementara itu, lanjut Kusman, hasil polling yang dilakukan oleh Harian Bernas melalui akun Twitternya @harianbernas, hingga hari ini Kamis (13/7) jam 17.10 WIB, 76 persen menyatakan tidak setuju pada Perppu tersebut dan hanya 24 persen menyatakan setuju. Total responden yang memberikan suaranya sebanyak 10.719 orang. Seperti yang tertera pada akun mereka, polling tersebut akan berlanjut hingga 6 hari ke depan.
“Berbagai hasil polling di atas, dapat menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat memberikan penolakan keras terhadap Perppu Ormas tersebut. Tentu saja respon tersebut muncul setelah mengetahui isi Perppu yang memang bisa menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk membungkam Ormas yang kritis terhadap pemerintah,” tuturnya.
“Bahkan bisa menjadi cikal bakal tumbuhnya sikap represif pemerintah. Di antaranya adalah dihilangkannya proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran Ormas (Pasal 61). Hal tersebut jelas bisa membuka pintu kesewenang-wenangan untuk menindak dan membubarkan Ormas, tanpa memberikan kesempatan bagi Ormas tersebut untuk melakukan pembelaan karena tidak adanya proses pengadilan,” imbuh Kusman membeberkan.
Kusman mengungkapkan, pada Perppu tersebut juga ada larangan bagi Ormas melakukan penyebaran paham yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 (Pasal 59 Ayat 4). Hal tersebut berpotensi digunakan untuk menindas suatu Ormas yang kritis terhadap pemerintah dengan alasan Ormas tersebut bertentangan dengan Pancasila. Padahal di Perppu tersebut tidak ada penjelasan paham seperti apa yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
“Melihat respon masyarakat yang saat ini makin menguat penolakannya terhadap Perppu tersebut, maka tidak ada jalan lain bagi pemerintah untuk menarik kembali Perppu tersebut. Karena kalau tetap dipertahankan maka bisa diprediksi akan terjadi kegaduhan yang akan menguras banyak energi,” pungkasnya. [mc]