Nusantarakini.com, Jakarta –
Siang tadi sekitar pukul 12.00 WIB Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang diketuai Ismail Yusanto mengadakan pertemuan dengan Yusril Ihza Mahendra usai Pemerintah mengumumkan Perpu No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU Ormas No 17 Tahun 2003.
Pakar Hukum Tata Negara yang juga lama berkecimpung dalam dunia advokat, Yusril Ihza Mahendra menyampaikan, bahwa HTI memutuskan memberi kuasa kepada Ihza-Ihza Law Firm untuk mengajukan permohonan uji materil atas Perpu tersebut yang diyakini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Langkah yang ditempuh HTI, menurut Yusril akan disusul oleh beberapa ormas lain, yang sama-sama menganggap Perpu ini merupakan kemunduran demokrasi di tanah air.
“Sebab, Perpu ini membuka peluang untuk Pemerintah berbuat sewenang-wenang membubarkan Ormas yang secara secara subyektif dianggap Pemerintah bertentangan dengan Pancasila, tanpa melalui proses peradilan,” tegas Yusril kepada Nusantarakini.com, Jakarta, Rabu (12/7/2017).
Menurut Yusril, kewenangan absolut Pemerintah untuk secara sepihak membubarkan ormas sebagaimana diatur dalam Perpu No 2 Tahun 2017 adalah bertentangan dengan prinsip negara hukum, karena kebebasan berserikat adalah hak warganegara yang dijamin oleh UUD 1945.
“Norma undang-undang yang mengatur kebebasan itu tidak boleh bertentangan dengan norma UUD yang lebih tinggi kedudukannya,” jelas Yusril.
Selain pertimbangan di atas, Yusril berpendapat bahwa tidak cukup alasan bagi Presiden untuk menerbitkan Perpu sebagaimana diatur oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 45.
“Perpu hanya bisa diterbitkan dalam ‘hal ikhwal kegentingan yang memaksa’,” tegas Yusril lagi.
Yusril membeberkan, tafsir tentang kegentingan yang memaksa itu ada dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009 yang menyebutkan adanya kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang tetapi undang-undangnya belum ada, atau undang-undangnya ada tapi tidak memadai.
“Sementara waktu sangat mendesak sehingga akan memerlukan waktu yang lama untuk menyusun UU dengan persetujuan DPR,” ucapnya memberikan alasan.
Lebih lanjut Yusril menekankan, bahwa UU No. 17 Tahun 2003 itu lebih daripada lengkap mengatur prosedur sanksi administratif sampai pembubaran ormas. Tapi Pemerintah dengan Perpu No 2 Tahun 2017 ini justru memangkasnya, dengan menghapus kewenangan pengadilan dan memberi kewenangan absolut pada Pemerintah untuk secara subyektif menilai adanya alasan yang cukup untuk membubarkan ormas.
“Perpu ini juga mengandung tumpang tindih pengaturan dengan norma-norma dalam KUHP, terkait delik penodaan agama, permusuhan yang bersifat suku, agama, ras dan golongan, serta delik makar yang sudah diatur dalam KUHP,” bebernya.
“Adanya tumpang tindih ini bisa menghilangkan kepastian hukum yang dijamin oleh UUD 1945,” tegas Yusril mengakhiri keterangannya. [mc]