Nusantarakini.com, Jakarta –
Seandainya Mahkamah Konstitusi berwenang mengeluarkan fatwa atau pendapat hukum, maka dalam menyelesaikan kontroversi pembahasan RUU Pemilu sekarang ini pastas kiranya jika Presiden dan DPR meminta fatwa kepada MK.
Fatwa MK yang patut diminta itu ialah untuk menjawab pertanyaan: Apakah dengan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang memutuskan bahwa Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Presiden/Wakil Presiden dilakukan serentak tahun 2019 ini, maka masih tetap konstitusionalkah keberadaan presidential treshold berapapun angka prosentasenya 10, 15 atau 20% yang sedang diperdebatkan itu atau sebaliknya telah menjadi inkonstitusional?
Jawaban atas pertanyaan ini sangat penting karena berkaitan dengan konstitusionalitas Pemilu 2019 yang akan menentukan perjalanan bangsa dan negara lima tahun berikutnya. Sebab, apabila Pilpres itu konstitusional, maka selamatlah negara ini, walau rasa tidak puas tentu akan tetap ada. Namun jika Pilpres itu inkonstitusional, maka hancur leburlah negara ini sebab pemimpin negaranya tidak mempunyai legitimasi untuk menjalankan roda pemerintahan.
Kalau Presidennya inkonstitusional, maka setiap orang berhak untuk membangkang kepada Pemerintah. Sama halnya dengan orang yang tidak memenuhi syarat menjadi imam sholat namun memaksakan diri menjadi imam, maka makmum yang ada di belakang tidak punya kewajiban apapun untuk mengikuti iman tersebut. Maka makmum boleh sholat sendiri-sendiri tanpa mengikuti imam yang tidak memenuhi syarat itu.
Namun sayang, berbeda dengan Mahkamah Agung (MA), MK tidak berwenang untuk mengeluarkan fatwa atau pendapat hukum, sehingga pencarian penyelesaian kontroversi presidential treshold itu bukan dengan cara meminta fatwa kepada MK, haruslah dilakukan dengan ijtihad menggunakan filsafat hukum, teori hukum dan logika hukum. Kalau ketiga jalan ini kita tempuh, maka kesimpulan kita akan sama, yakni kalau Pileg dan Pilpres dilaksanakan serentak pada hari yang sama, maka membicarakan presidential treshold menjadi samasekali tidak relevan. Kalau dipaksakan, maka presidential treshold itu menjadi inkonstitusional.
Kalau DPR sendiri belum terbentuk karena pileg dilaksanakan pada hari yg sama dengan Pilpres, maka bagaimana caranya kita menetapkan bahwa parpol atau gabungan parpol yang mempunyai 10, 15 atau 20 kursi DPR berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden?
Mendagri Tjahjo dan sejumlah Parpol (PDIP, Golkar dan Nasdem) di DPR mau menggunakan presidential treshold hasil Pileg 2014, yang sudah pernah digunakan untuk Pilpres tahun 2014 itu sendiri. Padahal peta politik selama lima tahun itu bisa saja sudah berubah, karena itulah UUD 45 mengatakan pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Argumen Mendagri Tjahjo dan sejumlah parpol DPR di atas, bukanlah logika hukum dan konstitusi, tapi logika kepentingan politik belaka untuk menjegal calon-calon lain di luar kepentingan mereka.
Presiden Jokowi sendiri mengatakan, kalau dalam pilpres yang lalu saja kita sudah gunakan presidential treshold 20 persen, kok sekarang mau di bikin 0 persen, kapan kita mau maju? Omongan Presiden ini termasuk omongan yang tidak jelas dasar logikaya, karena apa hubungannya angka 20 persen presidential treshold dengan kemajuan bangsa dan negara ini? Jokowi adalah presiden pertama yang dipilih dengan syarat pencalonan presidential treshold 20%. Apa pembangunan sosial-ekonomi negara ini tambah maju selama dipimpin Presiden Jokowi?
Kalau gunakan logika demokrasi, apakah adanya presidential treshold 20% membuat demokrasi kita lebih maju dibandingkan dengan tanpa presidential treshold samasekali untuk memberikan kesempatan yg sama kepada semua parpol peserta Pemilu?
Dikatakan juga oleh Mendagri Tjahjo bahwa presidential treshold 20% itu diperlukan agar Presiden terpilih mendapat dukungan kuat dari DPR. Pertanyaannya, kalau yang dukung hanya 20%, sedang yang 80% tidak dukung, apa artinya angka 20% itu?
Ketika akan menyusun kabinet di akhir 2014, Presiden Jokowi yang dalam kampanyenya mengatakan tidak akan bagi-bagi kursi kepada parpol pendukung, nyatanya terpaksa merangkul menteri dari beberapa partai dan membentuk “koalisi”, yang menandakan bahwa presidential treshold 20% itu memang tidak banyak gunanya.
Sampai menjelang lebaran kemarin,
perdebatan mengenai presidential treshold masih berlangsung. Konon minggu depan, pertengahan Juli 2017, pembahasan akan dilanjutkan lagi. Saya dengar ada usulan kompromi jalan tengah: presidential treshold tetap ada tapi angkanya 10% dan menggunakan prosentase hasil Pileg 2014 yang sudah basi itu.
Saya sendiri menegaskan pendirian saya bahwa jika presidential treshold tetap ada, berapapun angka prosentasenya, maka aturan itu adalah inkonstitusional bertentangan dengan Pasal 22E UUD 45 yang tegas menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum dilaksakan.
Pasal 22E UUD 45 itu, sebagaimana dinyatakan dalam Putusan MK tidaklah multi tafsir. Sebelum Pemilu (serentak) dilaksanakan, parpol atau gabungan parpol peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden kepada KPU tanpa harus menunggu hasil pileg untuk mengetahui berapa kursi presidential treshold yang dimiliknya.
Kalau masih ada waktu, sebenarnya ingin sekali saya menguji UU Pemilu Legislatif dan UU Pilpres yang masih berlaku sekarang ini, untuk menjawab pertanyaan: apakah kedua UU yang masih memisahkan pileg dan pilpres ini masih konstitusional atau tidak dengan adanya Putusan MK tentang Pemilu serentak mulai 2019 nanti. Jawaban atas pertanyaan ini dapat menjadi panduan Pemerintah dan DPR dalam menyelesaikan perdebatan presidential treshold ini.
Namun karena waktu sangat pendek, maka terpaksalah saya harus menunggu pembahasan RUU Pemilu itu selesai. Kalau nanti diputuskan presidential treshold tidak ada lagi atau 0%, maka syukur Alhamdulillah. Tapi kalau tetap ada, berapa persen pun angkanya, maka kemungkinan besar saya akan menjadi orang pertama yang akan menguji pasal-pasal presidential treshold itu ke Mahkamah Konstitusi, untuk mencari jawaban pasti: apakah presidential treshold dalam pemilu serentak itu konstitusional ataukah inkonstitusional. [mc]
Jakarta, 9 Juli 2017
*Yusril Ihza Mahendra, Pakar Hukum Tata Negara.