Nusantarakini.com, Jakarta –
Indonesia, dan hampir semua negeri, dicengkram plutocratz. Plutocracy (Greek: πλοῦτος, ploutos, ‘wealth’ + κράτος, kratos, ‘rule’) adalah sebentuk oligarki. Negara dikontrol by the small minority of the wealthiest citizens.
On the hand, oligarki di China masi berkuasa. In China, the Communist Party asks something of its entrepreneurs: “be daring and ambitious in business, but not in politics.”
Era reformasi menstransformasi oligarki militer menjadi PLUTOCRATIC PROBLEM. Seni bernegara rusak, UUD 45 diganti, gap kaya-miskin meluas, demokrasi bablas, prejudice shifted. Persoalan pemerataan ekonomi dam justice tidak diperhatikan.
Indonesia modern mencampakan “median-voter theorem”. Hasil pemilu bukan lagi refleksi dari “ideological center” rakyat. Tapi sepenuhnya dikuasai kepentingan kelompok plutocratz. “Mass-based interest groups” tak berkutik. Dipecah-belah. Money oriented mentriger the tug-of-war among interest groups.
Pasca Suharto jatuh, stressing nasional didominasi isu-isu minoritas. Bukan cuma Tionghoa, tapi LGBT, komunis, aliran sesat ikut mendulang keuntungan dari berakhirnya sebuah era.
“Economic élite domination” adalah pokok problem. Kebetulan, atau ironisnya, segelintir Tionghoa menguasai dominion economic elite ini. Reformasi membuka ruang, mereka semakin “within the system”. Istana dan sebagian anggota dewan berfungsi sebagai proxy the wealthy ruling class.
Jadi, masalahnya bukan di rasial hegemonic. Indonesian-chinese plutocracy mesti ditumbangkan. Tapi menurut saya, ini bukan gerakan rasis anti-cina.
Bila mengusung sentimen ras, Sri Bintang Pamungkas akan jadi bulan-bulanan para al-gojo, proxy, pemain watak dan kaki-tangan orang-orang kaya itu.
Plethora of diversionary tactics (pengalihan isu) mudah dimainkan. Itu akan mendistorsi perjuangan. Nasib mayoritas pribumi, mereka yang miskin, yang sekedar menjadi objek eksploitasi tidak akan berubah. Tetep sengsara.
Ahok sulit ditumbangkan dengan isu-isu anti-cina, kafir, rajam merajam. Lieus Sungkharisma steps in, and change the course of struggle.
Indonesia bukan negara rasis. Especially, terkait masalah Chinese dan China. Tahun 2015, PEW dan BBC World Service mengadakan survei. Hasilnya, 63% orang Indonesia menilai positif The China Rising. Jadi sulit dibayangkan Ahok bisa tumbang bila slogan “Gubernur Kafir” tidak diubah jadi “Gubernur Zolim”.
Gerakan rasis selalu gagal. Aryan nation dan Nazi Jerman membuktikan itu. Mereka tampak kuat di awal, namun akhirnya dua juta perempuan Jerman diperkosa massal oleh Soviet Red Army. Sampai sekarang, trauma warisan Adolf Hitler masi belum hilang. It may stands forever.
Dalam class struggle, teori Marxist mesti dibuang. Sudah tidak relevan. Sri Bintang Pamungkas perlu mengulik diferensiasi Theodor Herzl antara The Rothschilds dan Jews ‘medium millionaires’.
Ternyata, plutocratz bukan monolithic group with homogenous interests. Inside the Jews plutocracy, ada banyak friksi, fragmentasi dan rivalry. Pandangan mereka soal zionism juga bervariasi. Interest antara Roschild, Hirsch dan Montagu berbeda. Tidak heran bila mereka hate each others.
The Chinese is not monolithic and homogenous group either. Seorang penyeru “Anti Cina” (yang terasa jadi anti orang cina) menyatakan orang cina menuhankan uang.
Every body likes moneys. Bahkan kaum brahmin butuh uang. Logikanya, hipotesis “menuhankan duit” punya konsekuensi menaikan kasta kaum pedagang dan pengusaha.
Nyatanya, Hirarki kelas sosial ini tidak berlaku dalam kosmologi Tionghoa. Scholar (shi), gentry, birokrat dan pejabat negara menempati kasta tertinggi dalam Chinese society. Selanjutnya petani, artisans dan craftsmen. Justru paling bawah adalah kelompok pedagang (traders). Mereka dinilai tamak (greedy) dan menjadi parasit sosial.
Karena itu, unfair prejudices that result from ethnocentrism mesti dihindari. Jangan biarkan dia menjadi sentimen rasis. In Shakespeare’s The Merchant of Venice,Shylock’s pointing that despite the cultural differences, “we are all still human”. Ya, kita manusia. I think, he’s right.
~ Zeng Wei Jian