Nusantarakini.com, Jakarta –
Ada yang masih tersisa dari minggu sebelum Lebaran lalu yang perlu saya komentari. Yang saya maksud terutama adalah UUD 1945 Asli.
Keterangan Saudara Djoko Edhi Abdurrahman dan Saudara Syarifuddin Simbolon, menjawab pertanyaan sederhana Saudara Fahmi Amhar, terlalu ke sana ke mari dan bertele-tele, yang bisa menimbulkan salah persepsi dari masyarakat banyak.
Saya bukan Sarjana Hukum, spt juga dugaan saya terhadap Saudara Fahmi. Berbeda dari Mas Djoko dan Saudara Simbolon, tapi sama dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Memang untuk memahami UUD 1945 Asli tidak dibutuhkan ilmu hukum yang muluk-muluk. Itulah salah satu kelebihan UUD 1945 Asli kita.
Selama bertahun-tahun seumur saya/Republik ini tidak pernah saya mendengar soal UUD yang final ini. Sehingga jawabannya pun seharusnya straight to the point: Tidak ada UUD yang final. Di dunia pun begitu! Karena itulah ada Pasal 37 yang memberi kemungkinan perubahan pada UUD 1945.
Akan tetapi, perubahan yang dimaksud bukan berarti terus-menerus berubah, atau berkali-kali berubah, melainkan tidak berubah untuk sekian tahun lamanya; 30 tahun, 50 tahun atau lebih. Demi menjaga kepastian hukum, serta memberi kesempatan bagi negara untuk menjalankan UUD-nya dengan baik dan benar sesuai dengan kepentingan masyarakatnya. Kalau Dunia berubah, dan tuntutan masyarakat juga ikut berubah, barulah ditinjau kembali, apa diperlukan perubahan pada UUD-nya.
Hal yang sama berlaku pula untuk UUD 1945 Asli. Bahkan pada 17 Agustus 1945, UUD 1945 dalam bentuk konsep itu, sebagai diharapkan, agar tidak berubah-ubah lagi karena mau segera disahkan esok harinya. Saat itu juga diharapkan final. Meskipun terpaksa dilakukan perubahan dengan menghapus “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta. Sesudah disetujui pada 18 Agustus 1945, maka dia menjadi final.
Bung Karno bilang, sampai terbentuknya MPR pilihan rakyat, UUD 1945 Asli yang paling singkat di dunia itu akan disempurnakan.
Sampai lebih dari 20 tahun, bahkan sampai Bung Karno jatuh, MPR belum terbentuk. Bahkan ketika lewat Pemilu, MPR terbentuk pertama kali pada 1971, Soeharto pun tidak mau mengubah UUD 1945. Malah memperkuatnya dengan Tap MPR. Wakil Presiden Try Soetrisno, bahkan mengatakan, UUD 1945 sampai kiamat.
Sekalipun UUD 1945 Asli sudah diperkuat oleh MPR, tetapi Pasal 37 tetap tercantum, yang berarti memungkinkan UUD 1945 bisa diubah. Apalagi UUD 1945 terkenal dengan supel dan sederhana.
Memang kemudian terjadi perubahan terhadap UUD 1945 Asli lewat Amandemen 1999-2002 yang kontroversial, karena mengubah perihal yang sangat mendasar, ikut campurnya pihak Asing, dan secara formal tidak absah.
Perubahan lewat Amandemen 1999-2000 itu bukan sebagaimana diinginkan oleh sebagian besar masyarakat dan banyak pakar dan tokoh, karena UUD 1945 Aslinya menjadi sama sekali hilang tak berbekas.
Karena itu ada tuntutan untuk menetapkan berlakunya Kembali UUD 1945 Asli. Kalau itu terjadi, dan kemudian perlu dilakukan perubahan berdasarkan Pasal 37, maka butir-butir perubahannya dimuat dalam suatu Adendum, sedemikian rupa, sehingga UUD 1945 Aslinya tidak hilang. [mc]
*Sri Bintang Pamungkas, mantan Politisi penggagas “Mega Bintang”