Nusantarakini.com, Jakarta –
Sosok legenda panglima perang Majapahit jadi ajang pertarungan opini antara mereka yang curiga dengan seluruh sejarah Nusantara yang terimbas deislamisasi oleh kolonialisme Belanda dengan kaum yang alergi terhadap pengaruh Arab kepada Nusantara. Untuk hal itu, pihak yang pertama, berupaya memeriksa kembali, apa betul Majapahit itu kerajaan Hindu Budha atau sudah merupakan kerajaan yang dipengaruhi Islam secara kuat.
Mereka menemukan buktinya pada lempeng koin bertuliskan syahadat yang dipandang mata uangnya kerajaan Majapahit. Mereka juga memeriksa undang-undang Majapahit yang sarat muatan filsafat hukum Islam. Sampai kemudian, muncullah peryataan bahwa Gajah Mada yang dipandang sosok Mahapatih dari Majapahit itu bernama Gaj Ahmada. Artinya dalam dialek Mesir, Haji Ahmad.
Apa betul Gaj Ahmada itu Gajah Mada, ini yang membuat berang kaum anti Arabis. Mereka ini memang hendak mengikis habis pengaruh Arab dalam alam pikiran dan kebudayaan Indonesia. Boleh dikata, mereka ini pewaris pikiran kolonial Belanda terhadap Nusantara.
Ketika polemik Gaj Ahmada ini berkembang menjadi olok-olok dari kaum anti arabis, dapat diduga bahwa hal itu reaksi mereka yang tidak suka dengan munculnya pengaruh reislamisasi terhadap objek-objek sejarah yang berpengaruh bagi orang Indonesia.
Sebenarnya karena isu Gaj Ahmada ini dapat merembet secara politis legitimasi historis politis kaum anti arabis terhadap visi kebudayaan Indonesia, karena itu mereka tercebur menjadi reaksioner yang sentimentil dan sinis. Tapi itulah yang bisa mereka lakukan akhir-akhir ini di tengah miskinnya temuan arkeologis mereka terhadap sejarah masa lampau Indonesia. M.Yamin dan Purbatjaraka tak bisa mereka koreksi kedudukannya sebagai imam arkeologis bagi para anti arabis.
Sebaliknya kaum yang curiga deislamisasi menjangkau Majapahit, semakin tekun dan semarak saja membalikkan fakta-fakta mapan yang didoktrinkan selama ini kepada khalayak.
Sebab memang, interaksi pengaruh Islam sudah berlangsung sejak zaman Sriwijaya dengan ditemukannya surat permintaan penyebaran dakwah ke kerajaan sebelum Majapahit itu. Jadi wajar, jika Majapahit bukan hal yang tidak masuk akal dipengaruhi secara kuat oleh Islam.
Menilik pola ekspansi Islam yang agresif ke seluruh dunia sejak Muhammad Saw mendirikan negara itu, adalah wajar Islam masuk ke Nusantara pada periode yang bersamaan dengan ekspansifnya Islam.
Di zaman Umar bin Khattab sendiri, memerintah dari 634 – 644 M, dua kerajaan terbesar di dunia, dapat ditaklukkan, yaitu Kekaisaran Persia dan Romawi. Kekaisaran Romawi mundur dari Syiria dan Palestina oleh kejaran pasukan kaum Muslimin. Persia sendiri sepenuhnya jatuh ke tangan kaum Muslimin.
Saad bin Abi Waqqash, seorang panglima terkenal, menjelajah hingga ke negeri China. Jadi adalah masuk akal, jika 500 tahun setelah itu, Islam mempengaruhi Majapahit. Bukankah kerajaan Perlak dan Samudra Pasai di Sumatera yang sezaman dengan Majapahit jelas merupakan kerajaan Islam?
Jadi soal Gaj Ahmda atau Gajah Mada atau pun Jenderal Gajah (Elephent General) dari Majapahit ini yang jelas merupakan pahlawan historis bagi Indonesia dalam usaha mengintegrasikan suku-suku dan maayarakat yang beragam di kepualauan ini. Di situlah makna khusus kedudukan Gajah Mada dalam lintasan sejarah.
Perkara dia Gaj Ahmada atau Gajah Mada dalam pengertian yang umum, tak ada artinya jika Indonesia makin terpolarisasi antara kaum anti arabis dengan yang curiga terjadi sejak lama deislamisasi sejarah. Begitu saja dulu, ya. Lain kali disambung.
~ Kyai Kampung