Tausiah

Kisah Seorang Mu’allaf Tionghoa (Bagian 15)

Nusantarakini.com, Yogyakarta – 

MENGETUK PINTU HIDAYAH (15)
MENUNTUT ILMU DI PONDOKNYA “ORANG BESAR”

Dalam perjalanan kereta api malam menuju Yogyakarta, sebenarnya hatiku masih bimbang dan ragu apakah di lingkungan yang baru (lingkungan pondok pesantren) saya bisa diterima karena waktu itu saya satu-satunya orang Cina Muallaf yang menuntut ilmu di pondok pesantren. Tapi tekad ingin mendalami ilmu agama di Pondok Krapyak telah mengikis segala kebimbangan dan keraguan tersebut.

Saya terbangun ketika suara pengumuman mengatakan bahwa dalam beberapa menit lagi kereta api akan tiba pada tujuan terakhir Kota Yogyakarta, yang bersamaan “BERHATI NYAMAN” (dulu).

Pelan saya melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Disambut tukang becak, saya tanya, “Tahu Pondok Pesantren Krapyak?” Tukang becak menjawabnya dengan mantap, “tahu pak…” 
Tanpa menawar ongkos yang disebutkan tukang becak, saya langsung bergegas naik ke atas becak. Bagiku yang penting bisa cepat sampai ke tempat tujuan.

Hatiku bergetar ketika tiba di halaman Pondok Pesantren Al munawwir, sekitar pukul 06.00. Di depan komplek samping kantor kulihat ada beberapa bapak dan santri. Ternyata belakangan kuketahui mereka adalah bapak K.H. Asyhari, Kang Halim, Pak Fauzi (alm), Kang Anshori dan lain-lain) sedang bersenda gurau.

Dengan langkah pelan dan hati berdebar saya menyapa, “Assalamualaikum, permisi Bang numpang tanya.” Dijawab nya, “Silahkan ..darimana..???”
Saya jawab kembali, “Dari Kalimantan, mau ketema Bapak Kiai Aly Mashum.”

Lalu kutunjukkan surat pengantar dari MUI Pangkalan Bun. Kemudian saya diantar ke ruang perpustakan dimana para santri sedang mengaji sorogan. Setelah selesai mengajar santri mengaji sorogan, saya disuruh masuk. Untuk pertama kalinya saya bertemu dengan ulama besar yang ada di Pulau Jawa. Kiai yang sangat dihormati mantan Presiden Gus Dur, Al Mukarrom K.H. Aly Mashum yang kharismatik (Lahumul fatihah….).

Setelah membaca surat pengantar dari MUI Pangkalan Bun yang menerangkan bahwa saya seorang muallaf yang ingin menimba ilmu di Pondok Pesantren Krapyak (Pondok Krapyak dipilih karena menurut bapak angkat saya, K.H.Asyiqin. I.A. selaku ketua MUI adalah Pondoknya “Orang Besar”). Akhirnya beliau mengangguk dan saya disuruh istirahat  selama seminggu untuk penyesuaian suasana. Alhamdulillah….

Setelah bisa beradaptasi dengan lingkungan, akhirnya saya ditempatkan di Kamar C7, yang berisi 10 orang. Kalau mlm hari tidurnya seperti ikan-ikan di jemur, tertata dengan rapi tanpa bisa banyak bergerak.

Keberadaan saya (Cina muallaf) di lingkungan pondok tentunya menarik perhatian teman-teman santri. Kadang mereka menggoda dengan kata-kata, “…haiya…ni hao…haiya engkoh ha…” dan kata-kata lain yang saya anggap mengejek. Sehingga membuat saya sering jengkel dan marah.

Saking jengkelnya pernah menampar teman sekelas gara-gara saya maju hapalan di depan K.H. Asyhari Aba, dia mengeluarkan suara, “haiya…haiya…” (maklum sifat keras Kalimantannya belum hilang).

Setelah tiga bulan saya sudah siap-siap mau pulang ke Kalimantan lagi karena sudah tiga bulan belum mendapat kiriman uang wesel bulanan seperti yang dijanjikan Bupati. Sementara uang yang saya bawa sudah hampir habis. Tiap hari melihat pengumuman di depan kantor dengan harap-harap cemas. Keadaan ini tentunya tidak ada yang tahu karena saya malu mau cerita dengan teman-teman.

Alhamdulillah, ketika saya sudah siap pamitan pulang, ada surat dari bapak angkat K.H.Asyiqin. I.A. mengharapkan saya kerasan/betah di Pondok dan beliau ada mengirim uang Rp. 60 ribu untuk biaya dua bulan. Pesannya sementara makan daging cuma sekali dalam sebulan, yang dulu tiap hari. Walaupun keadaan seperti itu, saya bisa menyesuaikan diri.

Selama di Pondok belajar ilmu agama, saya juga mempelajari ilmu-ilmu Hikmah dengan kiai-kiai yang “khos” di luar Pondok Krapyak. Mereka antara lain:

K.H. Jauhari Umar (Pasuruan)
Ki Amongrogo (Jombang)
Mbah Yono (Mojoagung)
Mbah Ahmad Datu (Pekalongan)
K.H. Deden Juanda (Cisoka Banten)
K.H. Dimyathi (Serang Banten)
K.H. Ali Akbar (Anyer, Cilegon Banten)
Dan ada beberapa lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

untuk biaya belajar ilmu-ilmu itu saya menabung dari keuntungan yang sedikit hasil dagang Kitab-kitab, hasil bikin minuman sirup, hasil jualan es bungkus, semua pekerjaan yang orang lain mungkin malu untuk melakukannya, saya lakukan, yang penting saya harus punya uang yang halal untuk belajar ilmu Hikmah.

Mungkin ketekunan saya menuntut ilmu-hikmah dan banyak tirakat puasa wirid, akhirnya tanpa disadari saya mempunyai ilmu 300 kg yang saya cari selama ini, yang tentunya akan saya ijazahkan (GRATIS) kepada setiap pembeli buku yang akan terbit dua bulan lagi.

Setelah selesai pendidikan di Madrasah Aliyah tahun 1991, saya melanjutkan ke IAIN jurusan PERA 1. Sambil mengajar di MTS selama tujuh tahun.

Pada tahun 1997 saya mulai menampakkan kaki ke dunia supranatural secara nasional bersama teman teman. Seperti Suhu Ong. S. Wijaya, Suhu Achai, Jeng Naniek, Jeng Mira, Gus Sofyan, Mbah Lim (Limbad), Jaka Muara dan lain-lain. Waktu itu UGB belum ada namanya.

Dalam menjelajahi kota-kota propinsi dari Kota Medan sampai ke timur Nusa Tenggara Barat, berbagai cobaan dan tantangan bisa diatasi dengan baik. Pengalaman-pengalaman dicoba orang waktu atraksi panggung dan sering di kirimi santet dari masyarakat yang ingin mencoba masing-masing praktisi supranatural sudah tidak terhitung lagi, lebih-lebih daerah Kalimantan. Saya merasa bersyukur masih selamat dari berbagai cobaan.

Pada tahun 2001 saya diundang artis senior Ebet Kadarusman (alm) untuk mengisi acara “Arisan” di TPI, yang menjadi perantara saya kenal dengan para artis dan mengisi acara Alternatif TVRI Pusat selama empat tahun bersama Ustadz Haryono, ATFG-8 dan Yuan Chandra.

Akhirnya pada hari ini tanggal 18 dan Juni bertepatan dengan 23 Ramadlan, kisah sejarah kehidupan dari kecil sampai menjadi Tabib dan praktisi Supranatural saya cukupkan sampai disini. Terima kasih kepada teman-teman yang telah menyimak dari episode pertama sampai episode terakhir dan mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan dan kata-kata yang tidak sopan. Semoga karya ini bermanfaat untuk kita semua. Amin….

TAMAT

*Ustadz Abdul Hadi (Lay Fong Fie), Pakar Pengobatan Tradisional dan Ahli Spiritual, Pendiri Perguruan Tenaga Dalam “Hikmah Sejati”, Yogyakarta. [mc]

Terpopuler

To Top