Nusantarakini.com, Jakarta –
Lagi-lagi, tim komunikasi pemerintah kedodoran mengkomunikasikan ‘kenaikan TDL’ atau ‘pencabutan subsidi listrik’ atau ‘perbedaan jumlah pembayaran listrik’ atau apapun istilah yang anda pakai untuk menyebutnya.
Ini mengingatkan saya pada kekacauan tim komunikasi Badja merangkai argumen untuk menjelaskan kenapa musti menyebar sembako di hari tenang. Akibatnya para lovers di kedua kasus itu membangun argumennya sendiri-sendiri sehingga pesannya tidak fokus dan gagal meyakinkan publik. (ada grup yang pakai strategi banter-banteran ‘njegog’, ada grup yang pakai strategi banter-banteran ‘nylekethe’, meskipun ada pula grup yang membangun argumen dengan lebih jernih dan rasional).
Kegagalan dalam mengkomunikasikan kebijakan (yang sesungguhnya diawali dengan membiarkan peristiwa ‘kaget massal karena tagihan listrik’ berlangsung tanpa sosialisasi yang memadai dan bahkan top eksekutif republik cenderung melipir diam-diam tanpa kelihatan tertarik menyinggung soal ini dalam-dalam) akhirnya membuat PLN ‘ketiban sampur’ untuk menghadapi ‘tembakan’ dari segala penjuru.
Saya bersimpati kepada Pak Sofyan Basir Dirut PLN yang memilih muncul untuk memberikan pernyataan publik, meskipun soal pencabutan subsidi dan pertanyaan mengenai kompensasi bagi pencabutan subsidi itu seharusnya menjadi ranah institusi yang lebih besar dari PLN.
Namun, saya kurang sepakat dengan ancaman beliau untuk memproses hukum mereka yang menyebarkan informasi ‘listrik naik’. Saat situasi sulit seperti ini, lebih baik kita bicara dengan nada soft. Berdialog, tak perlu gondok. Merangkul, bukan memukul. Dah gitu aja. Selamat berpuasa. [mc]
*Akuat Supriyanto, Aktivis 98, sekarang sedang melakukan studi doktoralnya di Portugal. (Sumber: Facebook)