Presidium MRI: PDIP Komunis Gaya Baru?

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Ada yang menarik ketika saudara-saudara dari kelompok Islam, Nasionalis dan Kerakyatan yang mendukung kembali ke UUD 45 asli, menyebut PDIP merupakan Partai reinkarnasi dari Komunis Gaya Baru.

Beberapa alasan dan argumentasi ini didasari dari aliansi Nasakom yang memusuhi Islam, Nasionalis dan Kerakyatan pada masa-masa paska dekrit Presiden 1957 hingga 1965. PDIP seperti sedang mengulang sejarah untuk menguatkan doktrin Nasakom yang dijadikan pegangan untuk memukul lawan-lawan politiknya.

Ditambah lagi pernyataan Megawati, Ketua Umum PDIP yang menyatakan bahwa partainya menolak Islam dengan sebutan ideologi tertutup yang meramalkan masa depan. Disini Megawati dengan terang menyebut bahwa ideologi tertutup ini sebagai fullfuly propechy yang meramalkan ada kehidupan lain setelah kehidupan dunia.

Jika ditarik garis benang merah, apa yang hendak dilakukan PDIP sebagai partai yang mengaku berhaluan Nasionalis Marhaenisme ini, dapat kita tarik satu garis pemahaman bahwa PDIP sedang menegaskan suatu garis merah partainya.

Garis merah ini juga sebagai doktrin keras PDIP melalui Megawati, bahwa partainya merupakan partai sekuler dan berhaluan kiri.

Haluan kiri yang ditegaskan PDIP sebetulnya bukan sebagai garis yang dibangun untuk membangun kekuatan rakyat mencapai kesejahteraan-kesejahteraannya seperti doktrin komunisme sama rata, sama rasa. Akan tetapi merupakan doktrin yang digunakan sebagai mitra Partai Komunis Cina. Dimana hubungan PDIP dan PKC mulai menguat untuk menguasai Indonesia.

PDIP memang menargetkan kekuasaan dominan di Indonesia setelah berhasil memenangkan Jokowi sebagai Presiden. Perjuangan PDIP semakin agresif, ketika mencalonkan Ahok sebagai calon gubernur, dimana konon ada indikasi keterlibatan PKC sebagai sister’s’companynya atau organ kameradnya.

Disinilah sebenarnya garis benang merah PDIP menjadi gambaran dari manifestasi Komunis Gaya Baru.

PDIP-PKC dan Jokowi sebagai Presiden seperti sedang bergairah untuk menguasai Indonesia melalui berbagai proyek infrastruktur.

Seolah PKC dan RRC sedang menjadikan Indonesia sebagai lahan kekuatan kemakmuran untuk rakyat bangsanya dengan menggunakan tiga kekuatan inti: PDIP, Jokowi dan Konglomerat Taipan.

Tujuan utama dari kongsi dan konsolidasi PDIP dan PKC ini adalah kolonisasi dan suksesnya OBOR (One Belt, One Road) sebagai jalur sutera RRC yang ingin menguasai dunia.

Apa yang sedang diusahakan PDIP melalui kerja-kerja politiknya tentu memiliki implikasi berat terhadap kedaulatan Indonesia, khususnya kedaulatan pribumi di Indonesia. Dimana kedua hal ini menyangkut persoalan teritorial dan hak-hak masyarakat pribumi.

Lantas, apa yang menyebabkan PDIP tampak begitu die hard untuk membuka pintu kolonisasi ini, tentu ini membuat kita berpikir.

PDIP merupakan partai yang terlanjur menyatakan Nasionalisme sebagai instrumen politik regenerasi Soekarno. Akan tetapi dalam prakteknya, justru PDIP membuka pintu kolonisasi Cina yang tadinya tertutup rapat.

Menurut pandangan saya, PDIP telah berhasil dijadikan instrumen politik oleh Konglomerat Taipan yang juga telah berhasil menjadikan Jokowi sebagai kekuatan politik untuk mencapai misi-misi kekuasaannya.

Hal ini harus dicegah, agar Indonesia yang saat ini jika dirata-rata, secara ekonomi telah dikuasai oleh para konglomerat taipan. Dan akan didorong untuk menjadi bagian dari kekuasaan Cina Raya.

Langkah konstitusional mendesak untuk kembali menutup pintu rapat-rapat untuk menolak kolonisasi Cina ini tentu dengan langkah tegas. Yaitu melalui langkah konstitusional, yaitu dengan kembali ke UUD 45 asli dan perkuat kembali Hak-Hak Pribumi.

Dan untuk melakukan langkah tegas konstitusional ini haruslah dicapai melalui acara yang juga konstitusional. Yaitu dengan Sidang Istimewa.

Inilah langkah rasional, bagaimana kita mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat yang sedang diusahakan oleh Konglomerat Taipan untuk diberika ke Cina (RRC), melalui Jokowi dan PDIP. [mc]

*Yudi Syamhudi Suyuti, Ketua Presidium MRI (Musyawarah Rakyat Indonesia).