Nusantarakini.com, Jakarta –
Penilaian negatif terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi, baik dari kelas menengah atas maupun dari kalangan bawah ternyata mendapat sorotan dari kalangan analis.
Berikut analisis Dahlan Watihellu dalam artikelnya yang berjudul, “Rakyat Makin Cerdas. Jokowi Bisa Kalah Pilpres 2019” yang diterima redaksi Nusantarakini.com.
————————————–
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 tinggal dua tahun lagi. Ini merupakan waktu yang tidak begitu lama. Waktu dua tahun ini tentu akan dimanfaatkan dengan maksimal oleh Partai Politik dan para pelaku politik untuk menciptakan strategi, perencanaan, dan manuver, sambil test water untuk menjadi Calon Presiden, Calon Presiden atau menjadi pengusung.
Bicara Pilpres 2019 tentu kita semua tahu Presiden Jokowi akan kembali mencalonkan diri untuk periode kedua dan diusung oleh dua partai pendukung yang telah final yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golongan Karya (Golkar). Pelungan Jokowi kembali menjadi Presiden di periode ke dua bisa saja terwujud atau bisa juga tidak. Sebab semua atas kehendak suara rakyat Indonesia.
Menurut data sejumlah lembaga survey pertengahan tahun 2016, elektabilitas Jokowi di mata rakyat Indonesia masih berpeluang menang kembali di arena balapan Pilpres 2019, namun hasil survey ini tentu sangat tentatif karena dinamika politik terus berubah-ubah menuju Pilpres. Contohnya kekalahan Ahok-Djarot di Pilkada DKI kemarin telah terjawab, ternyata kekuatan politik Jokowi di DKI Jakarta sudah tidak berpengaruh lagi (NOTHING).
Fakta kelemahan Jokowi bisa dilihat saat Jokowi berpihak membantu Ahok-Djarot dengan kekuasaan politik, blusukan bagi-bagi sembako, duit, maupun kekuasaan hukum membela Ahok dari kasus penodaan agama, namun nyatanya Ahok-Djarot tetap saja kalah melawan Anies-Sandi di putaran ke dua Pilkada DKI. Pilkada DKI kemarin bukan saja diikuti oleh masyarakat DKI Jakarta saja, tapi menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, pesta demokrasi Pilkada DKI Jakarta kemarin merupakan cerminan awal Pilpres 2019 antara Jokowi melawan Prabowo.
Ini senada dengan hasil survey yang menunjukan elektabilitas Jokowi di DKI Jakarta tinggal 12 persen, disodok Prabowo di urutan pertama dengan 33,3 persen. Menurunnya elektabilitas Jokowi ini disebabkan oleh dirinya sendiri. Rakyat DKI Jakarta dan rakyat Indonesia menilai Jokowi berdiri di posisi Ahok-Djarot. Terlepas dari itu, kinerja Jokowi selama menjabat sebagai Presiden juga menjadi sorotan yang dianggap gagal. Visi-Misi nawacita yang dikampanyekan Jokowi saat menjadi Capres 2014 lalu tidak direalisasikan, bahkan berbalik berbanding terbalik.
Jokowi dianggap gagal mengendalikan harga kebutuhan sembako masyarakat, Bahan Bakar Minyak naik, listrik naik, transportasi naik. Belum lagi masalah minimnya lapangan pekerjaan, angka kemiskinan semakin bertambah, sektor pertanian dan perikanan rakyat Indonesia yang semakin lemah. Lalu bagaimana dengan masalah pendidikan dan kesehatan? Semua ini adalah jeritan yang dirasakan masyarakat Indonesia. Dari sisi pajak, Jokowi juga gagal menciptakan iklim perpajakan yang sehat. Rakyat dihukum dengan program tax amnesty membayar pajak. Sedangkan para pejabat, criminal bisnis, bisnis illegal serta para koruptor melegalisasi harta kekayaanya.
Dua tahun lebih Jokowi menjabat sebagai Presiden RI, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terjun bebas. Pertumbuhan ekonomi berada dibawah rata-rata berkisar antara 4,7 sampai denga 5,3 persen. Akibatnya Indonesia terjebak dalam middle income trap, pembangunan melambat dan stuck, kemampuan daya saing menurun, daya beli rakyat lemah, ekspor tahun 2017 diperkirakan tidak lebih dari 145 miliar dolar AS. Kemudian transaksi berjalan mengalami defisit sampai tahun 2016 dan yang sangat fatal lagi dalam APBN 2017, negara harus membayar bunga hutang sebesar Rp 221 triliun serta tiga Bank plat merah tergadaikan untuk China. Di mana setiap tahun utang tersebut bertambah besar. Sudah begitu, tidak adanya langkah pemerintah untuk melakukan renegosiasi utang luar negeri untuk meningkatkan kemampuan fiskal dalam rangka membangun perekonomian nasional.
Kembali pada konteks Pilpres 2019, Perlu diakui, rakyat memilih Jokowi sebagai Presiden di tahun 2014 lalu karena tingkat peradaban politik mereka masih rendah. Mereka termakan dengan politik blusukan dan pencitraan yang dikemas sebagai pemimpin merakyat. Sedangan visi-misi dan integritas menjadi nomor dua.
Dengan sejumlah kegagalan di atas, jika Jokowi kembali mengulang politik blusukan dan pencitraan untuk meraih simpati rakyat, tentu tidak akan mujarab lagi. Rakyat Indonesia sudah melihat hasil kerja Jokowi saat ini sebagai cerminan periode 2019-2024 ke depan. Dengan kata lain tidak ada perubahan yang dilakukan Jokowi, bahkan lebih beruk dari Presiden-Presiden sebelumnya. [mc]
*Dahlan Watihellu, Pengamat Sosial Politik.