Nusantarakini.com, Jakarta –
Pengamat hukum dan politik Martimus Amin menyampaikan, peradilan sesat dimulai dari kecerobohan tingkat penyelidikan yang dilakukan oleh lembaga kepolisian. Menurutnya banyak orang yang tidak bersalah atau tidak pernah melakuan perbuatan yang dituduhkan divonis bersalah karena peradilan sesat.
Contoh peradilan sesat, lanjut Amin, adalah kasus Sengkon dan Karta yang ditangkap polisi dan dipenjara atas tuduhan pembunuhan.
“Dasar kecurigaan polisi hanya didasari sumpah yang bersangkutan bahwa jika ia melakukan pembunuhan terhadap korbannya, ia akan dipatok ular,” ujar Martimus Amin dalam keterangannya kepada Nusantarakini.com, Jakarta (8/6/2017).
“Dilalah Sengkon digigit ular sehingga tuduhan itu dianggap benar. Saat menjalani hukuman penjara, sang pembunuh asli muncul mengakui pembunuhan dilakukannya, bukan oleh Sengkon dan Kartanegara,” tambah Amin.
Amin melanjutkan, untuk vonis Rijal-Jamran yang mewujudkan ekspresi kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi namun keduanya ditangkap polisi, adalah contoh salah satu dari praktik peradilan sesat.
“Kisah-kisah peradilan sesat tidak hanya terjadi di Indonesia, juga banyak di negara luar,” bebernya.
“Apakah peradilan sesat di Indonesia ini terus berjalan dan peradilan menegakkan supremasi hukum sebenarnya malah tidak pernah ada?
Tanyakan pada Presiden Jokowi,” tanya Amin sambil memberikan pilihan jawaban dari pertanyaannya. [mc]