Nusantarakini.com, Jakarta –
Jika dulu di zaman Orde Lama sudah tersedia media sosial seperti twitter dan facebook, mungkin hatespeach dan perskusi jauh lebih intens dan keras daripada sekarang.
Jadi jika hari ini Indonesia gempar dengan perilaku hatespeach, hoax dan perskusi, itu bukan barang baru.
Mari kita lihat dua pamplet yang terpampang dalam tulisan ini. Pamplet ini masing-masing milik Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Masyumi.
PKI dengan cerdik mengeksploitasi isu gunting rupiah yang dikeluarkan oleh Sjafrudin Prawiranegara, gubernur Bank Indonesia, yang kebetulan berasal dari Partai Masyumi.
Kebijakan untuk mengatasi masalah keuangan negara tersebut oleh PKI dieksploitir dan diolok-olok lalu digiring untuk keuntungan PKI.
Sebaliknya tidak kalah cerdiknya, Partai Masyumi juga menyindir PKI sebagai kaki tangan asing. Di gambar pamplet itu diilustrasikan PKI mengangkat bola dunia bergambar kepulauan Indonesia lalu dipersembahkan kepada sosok yang mirip Stalin, Pemimpin Uni Soviet. Jadi digambarkan bahwa PKI tak lebih sebagai pelayan Uni Soviet untuk mengeksploitasi Indonesia.
Karena itu, supaya Indonesia tidak bernasib sebagai pelayan negara asing, jangan pilih PKI, tapi pilihlah Masyumi. Demikian kira-kira pesan dari pamplet itu.
Memang dibandingkan NU, Masyumi merupakan musuh paling keras bagi PKI. Tetapi dalam perebutan basis massa di pedesaan, NU merupakan pesaing PKI yang paling kuat. Masyumi hanya populer di basis perkotaan, ormas Muhammadiyah, Persis dan masyarakat Muslim yang berpaham modernis.
Sisa-sisa persaingan di masa Orde Lama tersebut tentu tidak mudah untuk dikikis kendati sempat mengalami depolitisasi dan deideologisasi di zaman Orde Baru. Nyatanya sekarang, politisasi dan ideologisasi itu kembali semarak.
Indonesia memang hanya berayun-ayun bagaikan suatu bandul, kadang ke kanan, kadang ke kiri. Sejarang nyatanya berulang dengan konteks nyaris mirip. Betullah kata orang, sekarang itu zaman neo nasakom. (sdr)