Nusantarakini.com, Jakarta –
Saya sebenernya telah beresolusi akan mengurangi sosmed di bulan puasa ini (post terakhir tgl 21mei). Namun tuduhan yang dialamatkan pada Bapak akhir2 ini membuat banyak pesan pada saya, lewat WA, DM dll agar saya sebagai putrinya juga memberikan semacam klarifikasi.
Saya tidak akan memberikan klarifikasi terkait tuduhan tersebut, karena insyaAllah Bapak secara perwira akan menggelar konpers di kediaman JKT hari ini sebelum sholat Jum’at. Silahkan wartawan datang dan melansir jawaban beliau.
Saya hanya ingin berbagi bagaimana seorang Amien Rais menanggapi badai dan terjangan fitnah, deraan ujian, cobaan namun juga kebahagiaan. Mudah mudahan menjadi hikmah di bulan suci ini.
Terkembali kepada Anda yang menilai.
Di awal April 2017 lalu, Seorang Mantan jenderal yang duduk di posisi pemerintahan cukup strategis menemui Bapak. Ia mengatakan bahwa ia dikirim boss nya yang ingin bertemu Bapak. Ia ditugasi membuat titik temu & tempat. Bapak mengatakan “Monggo dengan senang hati, semua orang dari kalangan manapun saya temui, apalagi orang terhormat seperti bapak bos”. Namun sang mantan jenderal mengatakan boss ingin bertemu di tempat rahasia, tidak tercium media, karena pembicaraan akan bersifat confidential. Bapak tercenung. Ini sesuatu yang aneh. Mengapa harus rahasia?
Singkat cerita Bapak menolak meski sang utusan berdalih: pertemuan penting yang tidak bisa jadi konsumsi publik. “Maaf, jika ingin bertemu silahkan tapi terbuka, biarkan media melansir, biarkan mereka tahu hasil pembicaraan, toh pasti terbaik untuk bangsa. Jika pertemuan rahasia, saya tahu, saya hanya akan jadi bangkai politik Anda”.
Sang utusan mundur, pamit dalam kekecewaan. Saya mendengar dan melihatnya semua dari balik pintu di Joglo. Oh ini to Bapak Mantan Jenderal yang sering jadi penghubung itu.
Sepeninggal sang utusan, saya katakan pada Bapak. “Pak, beliau bos pasti akan tersinggung dengan jawaban Bapak. Dan it’s just a matter of time, you’ll be singled out. Hanya soal waktu Bapak akan diperkarakan entah bagaimana dan apa caranya.”
Bapak mengangguk. Ia sangat paham.
Amien Rais, memang ayah saya. Tapi saya mengagumi bagaimana ia menerima suatu hal, yang bagi sebagian orang termasuk saya adalah musibah, tapi karena ia seorang insyaAllah rajulun shalih, ia menerimanya dengan lapang dada bahkan menganggap blessing in disguise, keberkahan yang terselip dalam sebuah ujian. Termasuk tuduhan menerima aliran dana. Ia tdk akan bersembunyi atau malah kabur. Blessing yg bagaimana? Silahkan nanti wartawan hadir.
Tdk hanya sekali ini sesungguhnya Bapak menerima tudingan ini. Yang bersifat seolah melanggar hukum, dicitrakan koruptif, hipokrit, dll yg muaranya satu: pembunuhan karakter krn manuver Bapak dianggap tdk kooperatif dgn para petinggi nasional. Hingga akhirnya saya menyimpulkan ‘yang penting Amien Rais disebut dulu, diberitakan, dimunculkanlah opini dan bola liar fitnah yg keji di media, hingga kepingan2 tuduhan tersebut terbang tak terkontrol lalu setelah yakin the damage has been done, bahkan tdk akan terkoreksi lewat klarifikasi, selesai sudah misi. 36 tahun sy tahu benar bagaimana Bapak memberi perisai pd dirinya dalam kancah politik yg seringkali membuat orang lunglai karna tak kuat dirundung. Mereka adalah Salat, Puasa, tadarus, Dzikir, dan Sedekah.
Sama halnya ketika kemarin sy justru bersiasat bagaimana Bapak harus mengklarifikasi hal ini dengan ini dan itu, Bapak malah senyum dan hanya mengatakan: “yang terjadi pada Bapak semua atas ijin Allah The Almighty. Ini berkah! Ini berkah! Tdk sedikitpun bapak merasa ini hukuman atau ujian. Kamu kalau baca Al Quran, gak perlu berkelit atau takut. Hadapi dengan kejujuran”
Yah. Itulah saya, saya memang bukan Amien Rais. Saya masih anak-anak yang ketika terjadi suatu peristiwa yang memojokkan, justru terfikir bagaimana bersiasat agar tak jujur, atau membalasnya, atau malah ngelokro berputus asa. Memandang hal yg unfortunate dgn kacamata keberkahan, mgkn hanya bisa dirasa oleh orang yg maqom imannya sudah qualified.
Saya jd teringat suatu kali ketika saya ngelokro di kursi roda ketika selesai di kuretase keguguran. Bapak menggeledek saya dan tak henti hentinya saya menangis sambil saya gumam. “Saya sdh hopeless”
Bapak tampak tdk suka dengan kelemahan iman saya ini. Ia kemudian duduk menghadap saya “Num lihat ya rumah sakit ini.Lihat baik-baik. Ruangan-ruangannya, nursing stationnya, semuanya.”
Saya memandang sekelebat tapi masih tak paham apa maksud Bapak. Masih menangis meratapi janin 11 minggu yg barusan dimakamkan. “Nduk, kamu keguguran itu memang sebuah kesedihan tapi lihatlah kabar baiknya: kamu bisa HAMIL! Setelah sekian tahun tanpa ada hasil! Kamu punya benih! Bahkan bisa menyimpan 3 embrio yg bisa digunakan lagi. Allah memberi kabar baik: kamu wanita yang bisa hamil. Bukan manusia yg disebut didalam Al Quran yg memang ditakdirkan Allah tdk diberi benih. Tinggal masalah waktu kamu harus terus mencoba.”
Mataku yang sembab seketika sedikit melebar. Ada keberkahan yg luput dr kacamataku. Yang bisa dibaca Bapak. “Nduk, ingat suatu saat nanti Bapak akan menggeledek kamu melewati ruangan2 RS ini, melewati nursing station ini, dengan kamu yg tersenyum mendekap seorang bayi. Bapak yakin. InsyaAllah. Pulang dr RS ambil wudhu, sholat, dzikir, ngaji dan jgn lupa sedekahnya dikuatkan. It’s just a matter of time you will have a baby.”
Sekian tahun berikutnya, meski di RS yg berbeda, saya mendekap Sarahza dengan Bapak mendorong saya dikursi roda.
Mas Rangga pernah bilang kpd saya, setelah Sarahza lahir. “Num, kadang aku berpikir ekstrim ya mungkin kita berdua ini kan bukan org yang saleh-saleh amat. Ngadepin hidup sering naik turun kadar imannya, bahkan sering suudzon sama yang diatas. Mgkn doa kita selama ini tdk dikabulkan sama Allah. Tapi Allah mengabulkan doa Bapak untuk kita, lantaran ia adalah orang saleh.”
Itulah Amien Rais. Di Jum’at Berkah ini, ia akan hadapi tudingan yg dialamatkan padanya itu dengan bersyukur dan tanpa sedikitpun rasa keder. Karena ia berperisai kesalihan dan keyakinan bahwa Allah selalu bersama hamba-Nya yg berserah diri. (hyt)