Nusantarakini.com, Jakarta –
Dinamika politik kekuasaan di Indonesia dipengaruhi setidaknya dua kelompok. Pertama, kondisi persaingan negara kekuatan raksasa atau adikuasa AS-Cina yang kini sejak AS di bawah Presiden Trump kian intens. Indikator-indikator untuk faktor internasional ini mulai terlihat Indonesia di bawah Rezim Jokowi. Rezim ini membawa Indonesia berbelok dari politik ekonomi luar negeri condong ke AS kini condong ke Cina. Sejak Orde Baru belum pernah Indonesia sedekat ini hubungan kerjasama ekonomi dengan Cina. Kemunculan identitas pribumi di kalangan masyarakat madani sekarang ini bisa jadi salah satu indikator faktor internasional.
Kedua, kondisi politik dalam negeri Indonesia sendiri. Yaitu pertarungan perebutan kekuasaan melalui parpol pada Pilkada, antara lain Pilkada DKI menyebabkan Gubernur incumbent tumbang. Peta kekuatan parpol kian terlihat pengelompokan berdasarkan:
1. Gabungan parpol pendukung Paslon Ahok-Djarot sekaligus pendukung Jokowi.
2. Gabungan parpol pendukung Paslon Anies-Sandi sekaligus pendukung Prabowo.
Peta pertarungan parpol di DKI Jakarta semakin jelas dan terang benderang pasca Pilkada DKI tahun 2017. Kemenangan berada pada kelompok Parpol pendukung Paslon Anies-Sandi. Padahal pendukung Paslon Ahok-Djarot secara resmi dan formal jauh lebih banyak dan besar ketimbang pendukung Paslon Anies-Sandi. Ada enam parpol pendukung Paslon Ahok-Djarot. Yakni PDIP, Hanura, Nasdem, Golkar, PKB dan PPP.
Di pihak lain, pendukung Paslon Anies-Sandi jauh lebih sedikit hanya tiga.Yakni Gerindra, PKS dan PAN. Demokrat satu-satunya Parpol resmi nyatakan “netral” atau tidak mendukung satupun Paslon.
Dari sisi jumlah konstituen hasil Pileg sebelumnya juga pendukung Paslon Ahok-Djarot jauh lebih banyak. Tapi, ternyata perilaku pemilih di DKI sangat rendah pengaruh parpol. Jumlah pemilih Paslon Ahok-Djarot jauh lebih sedikit ketimbang jumlah pemilih gabungan parpol pendukung. Sedangkan jumlah pemilih Paslon Anies-Sandi jauh melewati jumlah pemilih gabungan parpol pendukung.
Jokowi secara diam-diam mendukung dan berupaya mempengaruhi Parpol untuk mendukung Ahok seperti PPP dan PKB. Sebabnya, Ahok adalah partner Jokowi berjuang merebut kekuasaan Pemprov DKI pada Pilkada DKI tahun 2012 lalu, dan menang.
Kecuali itu, Jokowi adalah kader PDIP sebagai pengusung utama Paslon Ahok-Djarot. Terdapat sejumlah kebijakan Jokowi untuk melindungi Ahok dari jerat hukum, termasuk tidak memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur karena berstatus Terdakwa.
Intinya, pengelompokan parpol pendukung Ahok gagal untuk memenangkan pertarungan kekuasaan pada Pilkada 2017. Paslon Ahok-Djarot dukungan Jokowi kalah telak hanya meraih sekitar 42 persen suara, sedangkan Paslon Anies-Sandi 58 persen. Kekalahan Ahok ini tentu saja menunjukkan telah merosot tajam pengaruh Jokowi terhadap segmen pemilih DKI. Juga kekalahan ini bisa jadi indikator merosotnya elektabilitas Jokowi dan PDIP sebagai parpol pemenang Pileg nasional dan DKI.
Kekalahan Ahok ini sesungguhnya membawa dampak negatif terhadap elektabilitas Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang. Kini menurut hasil survei yang dibeberkan Menko Maritim pada Rapat Nasional Golkar bulan Mei ini, elektabilitas Jokowi masih di atas 50 persen. Namun, angka ini masih sangat mungkin merosot ke 30 persen. Kasus elektabilitas Ahok turun drastis sejak tampilnya paslon pesaing bisa jadi pengalaman terbaik.
Posisi Jokowi kini masih Presiden RI. Elektabilitas Jokowi masih di atas 50 persen. Ia juga masih ingin lanjut jadi Presiden via Pilpres 2019 mendatang. Prospek Jokowi memenangkan pertarungan Pilpres 2019 harus dikaji berdasarkan kondisi Jokowi kini.
Para Parpol pendukung Jokowi kini sangat mungkin adalah PDIP, Golkar, Hanura dan Nasdem. Untuk PPP dan PKB berdasarkan pengalaman Pilkada DKI putaran kedua, kemungkinan dukung Jokowi. Sementara pendukung Prabowo adalah Gerindra, PKS dan PAN. Demokrat diperkirakan tetap resmi bersikap netral, tidak Jokowi tidak Prabowo.
Prediksi keberhasilan Jokowi dapat menjustifikasi berdasarkan jumlah konstituen gabungan parpol pendukung. Tapi, fakta menunjukkan konstituen pemilih sangat rendah terpengaruh parpol pendukung. Pada dasarnya massa pemilih sangat dipengaruhi prilaku pimpinan massa non formal atau non parpol. Kendala berikutnya bagi Jokowi adalah dukungan PPP dan PKB. Secara sosiologis kedua parpol ini lebih dekat dengan parpol pendukung Prabowo.
Pertanyaan pokok adalah apakah pimpinan nasional PPP dan PKB sungguh-sungguh mendukung Jokowi?Atau apakah pimpinan kedua parpol ini konsisten dan konsekuen bekerja untuk memenangkan Jokowi? Kami sangat percaya jawabannya: tidak! Massa pemilih PPP dan PKB karena primordial tertentu cenderung memilih Prabowo. Apalagi jika Prabowo menjadikan wakilnya tokoh nasional berkarakter agamis dari kelompok Islam politik.
Dapat dinilai, parpol pendukung Jokowi sangat mungkin gagal mempengaruhi massa pemilih mereka untuk mendukung Jokowi. Mengapa?
1.Mesin parpol tidak akan bekerja efektif dan mendulang suara pemilih maksimal untuk Jokowi.
2. Khusus umat Islam politik menilai, Rezim Jokowi anti umat Islam dan suka mengkriminalisasi aktivis dan Ulama Islam. Hal akan diperkuat lagi andai PPP dan PKB selaku parpol Islam tidak mendukung resmi Jokowi.
3. Bagi kelas menengah atas perkotaan, Rezim Jokowi hingga menjelang tiga tahun berkuasa belum mampu dan berhasil menunjukkan prestasi sesuai janji kampanye dan rencana pembangunan national jangka menengah yang dibuat sendiri oleh Rezim Jokowi.
4. Elektabilitas parpol pendukung utama PDIP kian merosot. Hal ini bisa dibuktikan dengan kegagalan mempertahankan sejumlah kekuasaan lokal/daerah melalui Pilkada belakangan ini, terutama Provinsi Banten dan DKI.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, maka prospek Jokowi Pilpres 2019 mendatang tergolong sangat mungkin gagal. Lalu, apa solusinya?
Pertama, tunjukkan dan buktikan Jokowi mampu dan berhasil melaksanakan janji-janji kampanye dan program kerja selama ini. Indikator paling tepat adalah tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai nominal 7 persen sesuai janji kampanye. Kini sudah hampir tiga tahun, masih sekitar 5 persen.
Kedua, hilangkan penilaian bahwa Rezim Jokowi anti umat Islam politik dan lakukan kriminalitas aktivis dan Ulama Islam. Jangan lakukan pembubaran ormas Islam seperti HTI.
Ketiga, Jokowi membangun jaringan (networking) bukan dominan dengan Parpol tetapi organisasi dan lembaga masyarakat madani. Pelaksanaan serentak Pilpres dan Pileg 2019 mendatang mengharuskan Jokowi jangan berharap banyak mesin Parpol akan bekerja untuk kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019. Para Kader Parpol akan lebih fokus dan utama kan bekerja untuk Pileg. Alternatif bagi Jokowi, membangun jaringan dan hubungan kerja sama sinerjik dengan komponen2 strategis masyarakat madani.
Keempat, politik ekonomi terhadap Cina harus dikurangi dan kembali pada posisi sebelumnya, yakni lebih condong ke AS atau Barat. Jika Jokowi terus memprioritaskan kerjasama ekonomi dengan Cina akan mendapatkan penolakan dan resistensi dari AS dan negara sekutunya. [mc]
*Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Politik dan Pemerintahan NSEAS (Network for South East Asian Studies)