Nusantarakini.com, Jakarta –
Kalau ada pemilihan tokoh “Man of the Year 2016” di Indonesia, Habib Rizieq Shihab lah yang paling layak dinobatkan sebagai pemenangnya. Sosoknya menjadi fenomenal dalam triwulan terakhir tahun 2016, sejak ia memimpin Aksi Bela Islam (ABI). Segera saja figur Habib Rizieq yang semula hanya dikenal sebagai imam FPI, sontak ber-revolusi menjadi pemimpin gerakan kebangkitan ummat Islam Indonesia.
HRS yang semula kurang diperhitungkan, karena aksi yang dipimpinnya paling hanya diikuti “jamaah” FPI saja, sekarang, suka tidak suka, HRS “wajib” dipertimbangkan baik-baik jika ada aparat pemerintahan yang hendak menyepelekannya.
Tak kurang Presiden Jokowi pun sudah mengalaminya. Presiden yang semula memilih “mencueki” Aksi Bela Islam II pada 4 Nopember 2016, berbalik menjadi “peserta dadakan” dalam Aksi Bela Islam III – 212.
Ya, Presiden Jokowi dibikin pontang-panting akibat “ulah” Habib Rizieq Shihab sejak awal Nopember 2016 lalu. Betapa tidak, Jokowi terpaksa menemui mantan kompetitornya saat Pilpres 2014 lalu, Prabowo Subianto, mendatangi kediamannya di bukit Hambalang, naik kuda (sesuatu yang belum pernah dilakukan Jokowi), demi meminta Pak Prabowo agar ikut meredam rencana aksi ummat Islam.
Esok harinya, Jokowi mengundang para pimpinan ormas Islam besar untuk datang ke istana. Lalu malamnya kembali menggelar pertemuan dengan para ulama serta pimpinan pondok pesantren se-Jawa Barat dan Banten.
Pokoknya, semua ulama kondang dan pimpinan organisasi Islam besar sudah ditemui Jokowi, hanya satu yang dia tak ingin temui : Habib Rizieq Shihab! Dan tentu saja GNPF MUI, organisasi yang menginisiasi Aksi Bela Islam.
Ya, Habib Rizieq Shihab dan Ustadz Bachtiar Nasir adalah 2 tokoh utama Aksi Bela Islam yang oleh Presiden Jokowi justru tak hendak ditemui!
Namun sayangnya langkah Jokowi itu justru tak banyak membuahkan hasil. Sebagian yang ditemui Jokowi bahkan berbalik mempertanyakan kenapa ormas dan tokoh yang akan menggerakkan aksi justru tak diundang, tak diajak bicara, tak diminta berdialog untuk mencari solusi bersama.
*** *** ***
Alhasil, ABI II – 411 pun berlangsung dan sangat mengejutkan banyak pihak. Tak satupun intelijen yang memprediksi aksi itu bakal diikuti ummat Islam sebanyak itu. Kapolri menduga jumlahnya tak akan lebih dari 65 ribuan orang. Konon BIN katanya bahkan mengira pesertanya hanya 35 ribuan saja.
Para buzzer pendukung Presiden di dunia maya ikut andil menciptakan miss-leading perception, dengan menyebar foto lama, dimana kondisi masjid Istiqlal sepi dari jamaah. Mungkin maksud hati mengecilkan nyali yang akan ikut, agar mengurungkan niatnya.
Namun apa daya, faktanya tidak demikian. Sejak pagi massa menyemut menuju Istiqlal. Pihak PT. KAI bahkan menyatakan lonjakan jumlah pengguna kereta api di Jakarta hari itu mencapai 4x lipat penumpang reguler.
Inilah awal kebangkitan ummat, yang gerakannya dipimpin Habib Rizieq Shihab.
Presiden pun “kabur” duluan, mendadak meninjau proyek jalan kereta api, yang jangankan pembangunan fisiknya, pembebasan lahannya saja belum kelar. Meski sehari sebelumnya sempat menjanjikan dirinya akan berada di istana, tidak kemana-mana, namun prediksi intelijen yang meleset, membuat presiden terpaksa harus mengingkari kata-katanya sendiri.
Ya, tak satupun yang memprediksi aksi ini bakal diikuti 2 jutaan orang dari berbagai daerah, dari beragam ormas, bukan hanya FPI saja.
Suka atau tidak suka, pemerintah harus berpikir ulang untuk menyepelekan HRS dan GNPF MUI.
Tak dianggap ketika mengetuk pintu istana, Habib Rizieq kembali menyeru ummat, kali ini untuk mengetuk “pintu langit”. Aksi Super Damai 212, menorehkan catatan sejarah. Lagi-lagi, tak ada intelijen yang mampu meramalkan bahwa massa yang hadir akan sebanyak itu. Meski penghadangan sudah dilakukan di berbagai daerah, pelarangan bis-bis antar kota mengangkut peserta ASD 212 dan razia yang dilakukan aparat kepolisian di berbagai daerah, tapi anehnya antusiasme ummat Islam justru makin tinggi.
Dilarang menyewa bis, sejumlah santri muda nekad jalan kaki, longmarch menuju Jakarta.
Sepanjang jalan mereka kemudian menuai simpati masyarakat yang dilewati. Bantuan logistik tiada henti. Bahkan kaum lelaki yang semula cuek, enggan peduli dengan ABI, kemudian terketuk hati mereka menyaksikan kegigihan santri-santri Ciamis. Berangkatlah mereka menuju Jakarta.
Sekali lagi, ini “kekonyolan” aparat. Mereka seperti tak paham hukum alam, seperi halnya hukum fisika, semakin besar tekanan, semakin besar pula gaya yang timbul. Makin represif, maka akan semakin dahsyat reaksi perlawanannya.
Polri yang tadinya ngotot tak mengijinkan jalanan di Jakarta jadi tempat sholat Jum’at dan hanya menyiapkan lahan sekitar Monas saja, pada 2 Desember 2016, terpaksa jadi penonton saja ketika massa yang terus berdatangan sejak dini hari, membludak dan mengorganisir diri mereka secara spontan, membentuk lautan manusia dalam balutan busana putih, berbaris rapi dalam shaf-shaf yang memanjang memenuhi jalanan sekitar Monas hingga Cempaka Putih.
Lagi-lagi Presiden Jokowi terhenyak. Tak dinyana bisa sebanyak itu yang hadir di jantung Jakarta!!
Tidak mudah memimpin jutaan orang dari berbagai daerah, beragam ormas, beraneka macam latar belakang sosial. Sedikit saja provokasi, psikologi massa bisa tersulut.
Apalagi di sekelilingnya ada gedung-gedung dan obyek vital Pemerintahan. Sangat mudah kalau memang niatnya mau membuat rusuh dan kekacauan.
Namun, faktanya jutaan ummat yang berkumpul ini damai, jauh dari tindakan anarkhis. Maka, Jokowi pun mendadak sontak ingin bergabung. Dalam derai hujan, rombongan istana lengkap Presiden dan Wapres, Menkopolhukam, Menteri Agama, bahkan Menko serba bisa Luhut Binsar Panjaitan yang non Muslim pun, terpaksa mengiringi, hadir ke Monas.
Atas kehendak Allah Yang Maha Sempurna mengatur segalanya, diluar rencana, KH. Ma’ruf Amin, Ketua Umum MUI, yang jauh hari sudah dijadwalkan menjadi khatib dan imam sholat Jum’at, ternyata hari itu berhalangan hadir. Beliau mengutus wakilnya. Ternyata, wakilnya pun tak bisa hadir.
Terpaksalah Habib Rizieq menjadi khatib siang itu. Sholat Jum’at tidaklah sah tanpa khotbah, dan lelaki Muslim balligh yang tidak sedang udzur wajib mengikuti sholat Jum’at lengkap dengan khotbahnya.
Jadilah siang itu Jokowi yang berbalik mendatangi Habib Rizieq Shihab, tokoh yang selama ini dihindari untuk ditemuinya.
Suka tidak suka, siang itu Jokowi terpaksa duduk manis didepan panggung Habib Rizieq, tertunduk mendengarkan ceramahnya.
Usai acara, Jokowi hendak “mencuri panggung”, dia mengambil microphone dan mengucapkan terima kasih pada jamaah yang hadir. Masih di panggung yang sama, berjarak beberapa langkah dari tempat Presiden berdiri, Habib Rizieq yang masih memegang microphone juga meriakkan tanya pada ummat : siapkah berevolusi jika hukum tak ditegakkan? “SIAAAPP!!!” serentak jamaah menjawab seruan Habib Rizieq.
Ya, hari itu PANGGUNG BUKAN MILIK JOKOWI! Massa ummat Islam lebih mendengar seruan HRS ketimbang Presiden.
*** *** ***
Dua kali aksi damai melibatkan jutaan ummat, adalah fakta tak terelakkan bahwa informally, Habib Rizieq Shihab adalah pemimpin ummat sejati.
Seruannya didengar, ajakannya dipatuhi.
Ini tentu “MENGERIKAN” bagi penguasa, karena HRS memposisikan dirinya di kelompok yang berseberangan dengan penguasa, yang mengkritisi penguasa.
Maka, HRS HARUS DIHENTIKAN!!!
Dan…, dimulailah cerita ANEH BIN AJAIB yang tidak masuk akal sehat orang yang mau berpikir.
Firza Husein, sosok yang tiba-tiba saja muncul dalam jajaran para “pe-makar”.
Siapa Firza?! Namanya TIDAK PERNAH TERDENGAR sebelumnya di kalangan aktivis dan kritikus kekuasaan. Beda dengan Ratna Sarumpaet, misalnya. Apalagi Sri Bintang Pamungkas. Ibu Rachmawati Soekarno, meski bukan aktivis tapi dalam 2 tahun terakhir beliau kerap pedas melontarkan kritik. Sedangkan Firza?! Who is SHE?!
Hampir 2 bulan berselang sejak Firza jadi tersangka kasus makar, tetiba jagat dunia maya dihebohkan beredarnya “chat sex” yang katanya antara Firza Husein dan Habib Rizieq.
Masuk akalkah seseorang yang ponselnya sudah disita Polri sejak 2 Desember 2016 kemudian 28 Januari 2017 mengunggah postingan di internet?!
Katakanlah benar ada foto diri Firza tanpa busana di ponsel yang disita polisi, sebagai koleksi pribadi, mana mungkin foto itu dengan sendirinya nyelonong tampil di internet?!
Apalagi situs-situs yang mengunggah foto itu beserta chat sex-nya BARU DIBUAT TANGGAL 28 Januari 2017.
Tentu yang mengunggah adalah ORANG YANG MEMILIKI AKSES TERHADAP PONSEL TERSEBUT.
Lalu bagaimana Habib Rizieq bisa dikaitkan dengan kasus foto Firza?! Jelas nyelonongnya foto itu ke internet saja sudah aneh, apalagi chat sex yang diributkan sangat mungkin rekaan semata. Ada banyak smiley disitu yang artinya capture itu editan. Saat ini, dimana ponsel berbasis Android sudah sangat umum dipakai, setiap orang bisa mengunduh aplikasi pembuat meme dan fake chat. Mudah sekali. Semudah mengedit foto di ponsel.
Lihatlah sekarang makin marak beredar fake chat, terutama yang menggunakan nama Kapolri, Kapolda Metro Jaya, sebagai bentuk perlawanan publik.
Seolah publik hendak berkata : “Maaf Jendral, kalau cuma bikin kayak ginian, kami juga bisa kok! Tinggal kreatifitas kami saja mengolah materi obrolannya”.
Lalu sekarang, Firza ditetapkan jadi tersangka. Atas kasus apa?! Bukankah Firza sudah MEMBANTAH bahwa itu foto dirinya? Bukan hanya bantahan di depan penyidik, tim kuasa hukumnya pun berulangkali menegaskan bantahan kliennya.
Oke, katakan Firza pernah memotret dirinya dalam keadaan tanpa busana, lalu siapa yang menyebarkan?! Kalau foto itu tersimpan dalam galery ponselnya pribadi, tidak ada yang salah bukan?! Ratusan bahkan mungkin ribuan orang yang mendokumentasikan kehidupan pribadinya di dalam ponsel. Sepanjang tidak disebarkan, semestinya tak ada delik hukum.
Nah, kalau pun benar itu foto Firza yang beredar di 3 situs, siapa yang mengedarkan jika ponsel itu SUDAH DISITA POLISI sejak 2 Desember 2016?!
Apalagi kalau kemudian “maksa” banget mengkaitkan dengan Habib Rizieq. HRS tidak punya reputasi main perempuan. Dia dikenal keras dalam orasinya, garang jika mempimpin FPI menggerebek warung remang-remang penjaja prostitusi liar, penjual miras illegal, tempat perjudian dan beragam kemaksiatan lain.
Itu reputasi HRS selama ini.
Terlalu gegabah polisi, intelijen atau siapapun yang hendak membangun opini bahwa HRS ternyata gemar melakukan chat sex.
Lalu kenapa opini itu yang dibangun???
*** *** ***
HRS berusaha dijerat dengan berbagai kasus hukum. Yang paling heboh sebelumnya adalah aduan Sukmawati Soekarno soal penghinaan “LAMBANG NEGARA”. Padahal, yang dimaksud “lambang negara” adalah “burung garuda pancasila”, seekor garuda yang menoleh ke sisi kanan, didadanya menggantung tameng dengan 5 simbol mewakili setiap sila dalam Pancasila.
Sedangkan yang dipersoalkan Sukmawati adalah pidato HRS 2 tahun lalu yang membahas sejarah Pancasila yang pada akhirnya menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama, seperti yang kita kenal saat ini.
Jadi, sama sekali gak nyambung bukan?!
Itu sebabnya Kejaksaan kini mengembalikan lagi berkas HRS dengan tuduhan penghinaan lambang negara, kepada Polda Jabar.
Akan tetapi penguasa butuh sesuatu yang INSTANT untuk MENGHANCURKAN KREDIBILITAS DAN INTEGRITAS MORAL HRS. Kelamaan kalau menggunakan kasus hukum yang membutuhkan pembuktian kuat.
Maka, dibuatlah kasus yang ada bumbu SEX dan SKANDAL PEREMPUAN. Ini issu yang “menarik” dan membuat publik akan “terlibat” dalam pusaran issu semacam ini.
Kapanpun, di negara manapun, terhadap tokoh apapun, issu ini paling mujarab!
Clinton saja nyaris di-impeach karena kasus skandalnya dengan Monica Lewinsky.
Tapi sayangnya polisi atau siapapun pihak yang menginisiasi kasus ini tak punya bukti fisik jejak perselingkuhan HRS dengan Firza. Tak ada bekas sperma seperti pada rok Monica Lewinsky. Tak ada bukti rekaman pembicaraan seperti pada kasus Antasari Azhar dengan Rani Juliani, 8 tahun silam. Kalau hanya fake chat, siapapun bisa bikin.
Berharap HRS hancur dengan cara seperti itu? Sayang, ummat Islam TIDAK SEBODOH yang disangka si perekayasa kasus. Lihatlah bagaimana kaum Muslimin melawan. Jika fake chat itu awalnya diviralkan di media sosial, kini ummat pun melawan di medsos, menunjukkan kepercayaan mereka pada ulama, termasuk Habib Rizieq Shihab.
Sekali lagi, ini hukum alam, seperti hukum fisika.
Tidakkah sang perekayasa kasus belajar dari fenomena belakangan ini?
Aksi Bela Islam makin dihadang makin besar animo masyarakat untuk hadir.
Sembako ditebar dengan liar, makin besar kesadaran kaum rasional bahwa ada keburukan di balik itu, jangan pilih yang menyuap pemilih dengan sekantong sembako.
Pak Tito Karnavian, Pak Budi Gunawan, Pak Iriawan, anda semua polisi senior yang sudah malang melintang di dunia penyidikan dan intelijen. Jadi pikirkan sekali lagi kasus “maksa” melibatkan HRS dalam fake chat sex itu.
*** *** ***
Lalu kenapa HRS tidak pulang saja ke Indonesia?
Tidak sesimpel itu kondisinya sekarang.
Dulu…, ketika HRS “hanya” ketua FPI, hanya pemimpin bagi laskar FPI, mudah bagi HRS berurusan dengan hukum. Kalau harus ditahan, dipidana penjara, ya jalani saja. Buktinya HRS sudah pernah 2 kali dipenjara dan dia tidak berulah di dalam penjara.
Para pendukungnya tidak meminta HRS dibebaskan atau diistimewakan di rutan tertentu yang dipilihnya. HRS TERBUKTI PATUH MENJALANI HUKUMAN KURUNGAN PENJARA. Tak ada yang ditakutinya.
Tapi…, HRS sekarang berbeda. Dia bukan lagi sekedar imam bagi FPI, namun imam bagi sebagian ummat ISLAM di Indonesia. Tentu, ada saja Muslim yang tak suka padanya, wajar itu.
Tapi leadership HRS atas ummat Islam tidak bisa disepelekan. HRS sudah menjadi ICON KEBANGKITAN DAN PERGERAKAN UMMAT ISLAM.
HRS sudah menjadi SIMBOL PERLAWANAN TERHADAP PENGUASA yang kurang berpihak pada ummat Islam.
Jadi, jika HRS masuk dalam jebakan, kemudian dia dipaksakan ditahan, seperti halnya Ustadz Al Khaththath, maka bisa dibayangkan perlawanan ummat Islam yang marah.
Ustadz Al Khaththath ditangkap, dituduh makar, namun hingga kini, hampir 2 bulan berlalu, tak jelas kasusnya. Bahkan kabarnya beliau ganya diperiksa 2 kali saja, setelah itu dibiarkan berada di tahanan.
HRS bukanlah orang bodoh. Dia tentu punya pertimbangannya, pemikiran dan strategi yang matang.
Jika kepulangannya untuk masuk ke dalam jebakan, maka akan menyulut kemarahan dan perlawanan ummat Islam. Padahal, sebentar lagi Ramadhan. HRS ingin ummat Islam menjalani Ramadhan dengan tenang.
Toh polisi juga harus berpikir ulang untuk membuat kasus ini kuat secara hukum.
Mau minta bantuan interpol?! Hei, HRS belum lagi tersangka. Lagian akan jadi bahan tertawaan jika Polri mengejar seseorang pakai jasa interpol hanya karena orang itu DIDUGA telah melakukan chat sex pribadi.
Tentu akan hebat jika yang dikejar itu gembong pelaku perdagangan wanita dan anak-anak untuk dijual dalam bursa prostitusi onlen.
Nah ini, chat sex yang lemah sekali dasarnya. Apalagi dari tanggal dibuatnya situs pengedar, sudah tidak masuk akal dibanding tanggal ponsel “pelaku” disita polisi.
Pangeran Diponegoro dulu dengan gentleman bersedia menghadiri undangan dialog dari pemerintah Belanda.
Tapi apa yang terjadi? It was an entrapment!! Pangeran Diponegoro masuk dalam jebakan busuk dan beliau dipenjara, diasingkan selamanya.
Habib Rizieq Shihab ibarat Pangeran Diponegoro abad ini. Keduanya sama-sama membangkitkan kesadaran ummat Islam atas kesemena-menaan. Keduanya sama mengobarkan semangat juang dilandasi aqidah. Keduanya sama-sama dianggap berbahaya.
Ahok yang selama ini dianggap tak akan mampu ditumbangkan, ternyata kalah telak dalam Pilgub. Ini fakta, suka atau tidak suka orang harus mengkalkulasi kekuatan HRS.
Kalau tak cukup kuat menghadirkan sosok yang mampu menyaingi pengaruh HRS, ya harus bisa membungkam HRS.
Itu sebabnya, segala cara, segala macam skenario, termasuk yang tidak masuk akal, harus dibuat agar HRS bisa dijebloskan ke penjara, paling tidak sampai 2019.
Dia lah batu sandungan terbesar bagi penguasa saat ini.
#KamiPercayaUlama
#KamiPercayaHRS
#KamiMendukungPerjuangannya
#KamiBersamaHRS
*Iramawati Oemar, Penulis Aktif (Sumber: Facebook) [mc]