Seperti Kodok dan Popok

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Sebagai bangsa…
Dari mana kita bisa keluar dari masalah jika kita tidak tau dari mana masuknya masalah? Ini soal sederhana, seperti mengurut pohon hingga ke akar masalah. Jika ada penyelenggara negara tidak dapat mengurut masalah, maka sebenarnya dia bagian dari masalah.

Ini ibarat seekor kodok di atas sumur yang ingin menyelamatkan kodok yang terjerumus ke dalam sumur. Jika kodok yang berada di atas sumur itu, lompat masuk ke sumur, saat itu dia sudah menjadi bagian dari masalah. Untuk menyelesaikan masalah, dia harus tetap berada di luar sumur, mengurai akar masalah dan menemukan jalan ke luar masalahnya.

Salah satu cara paling mudah memahami masalah adalah dengan mengurai sumber masalah. Solusinya, dari mana pintu masalah masuk, dari pintu itu masalah kita keluarkan.

+ Jika rumusan masalahnya:
“Mengapa umat Islam melakukan aksi bela Islam?”

– Maka jawaban masalahnya:
“Karena kitab suci mereka dihina.”

+ Jika rumusan masalahnya:
“Siapa yang menghina kitab suci umat Islam?”

– Maka jawaban atas masalah itulah: “Sumber masalahnya.” 

Mudah sekali bukan? Tapi mengapa menjadi sulit? Karena ada pihak yang seharusnya menjadi pemecah masalah (problem solver) justru bertindak menjadi bagian dari masalah (part of problem). Ini mirip kodok di atas sumur yang lompat masuk sumur seolah ingin menyelamatkan kodok yang terjerumus ke dalam sumur, padahal telah menjadi bagian dari masalah yang harus diselamatkan.

Selama akar masalah tidak diselesaikan, maka selama itu pula masalah tidak akan pernah selesai.

Mengalihkan masalah pada hal lain seperti radikalisme-lah, fundamentalisme-lah, ancaman disintegrasi-lah, apalah, apalah itu bukan penyelesaian akar masalah.

Ibarat bayi yang menangis karena popoknya basah kena ompol, tapi dipaksa berhenti dan diam dengan cara menakutinya dengan berbagai topeng yang seram. Bayi akan tetap menangis karena masalahnya bukan monster seram pada topeng. Yang diinginkan bayi adalah, ganti popok yang basah kena ompol dengan popok yang kering.

Sekali lagi, ini soal yang mudah dan sederhana. Jangan dibuat rumit dan susah. Ada orang yang menista kitab suci umat beragama, umat beragama marah dan menuntut hukum diterapkan secara adil dan merata. Jika hukum adalah cermin keadilan rakyat, maka rakyat menuntut keadilan. Ini cermin sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.” [mc]

*Iswandi Syahputra, pengamat sosial politik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *