Nusantarakini.com, Jakarta –
Jaman sekarang, ketika anda menjadi pemenang maka tidak berhak untuk gembira, apalagi bersorak sorai, karena akan dibilang jumawa dan sombong. Lebih bagus bagi pemenang saat ini adalah legowo menerima kemenangan, siap untuk dicibir dan dibully.
Sebaliknya bagi si kalah jaman sekarang boleh berbuat apa saja, bergembiralah hingga membuat si pemenang seakan merasa menyesal telah menang, merasa kalah dan tabah menerima kemenangan.
Begitulah yang terjadi pasca Pilkada DKI Jakarta. Sebagai pemenang pasangan Anies-Sandi habis dicibir. Belum juga menjabat dan punya kuasa, Anies-Sandi sudah dianggap bertanggungjawab atas kesemrawutan kembali kawasan Kalijodo. Sebuah media besar pun tidak ragu membuat berita hoax bahwa sejak Ahok kalah, para warga gusuran di Kampung Aquarium jadi berani kembali mendirikan bangunan liar. Padahal bangunan liar itu telah terjadi jauh sebelum Pilkada.
Fenomena penyerangan terhadap pemenang ini setidaknya sudah mulai terjadi tidak lama sejak Anies-Sandi dinyatakan unggul dalam hitung cepat berbagai lembaga survei. Sejak itulah para buzzer Ahokers garis keras ngamuk di media sosial menagih janji program DP 0 Rupiah yang dianggap omong kosong. “Rakyat Jakarta siap-siap gigit jari,” kata mereka. Merasa berhak menagih, walau tak memilihnya. Aneh!
Saat ini, seruan move on yang pada umumnya disematkan kepada mereka yang gagal, kalah, sedih karena harapan tak sampai–menjadi tidak berlaku. Pihak yang kalah tidak boleh move on karena mereka merasa bangga dengan kekalahan. Rasa bangga itu diwujudkan dengan mengirinkan ribuan karangan bunga ke Balai kota sambil antri selfi di depan petahana yang sejatinya telah terbukti tak diinginkan rakyat lagi.
Jaman sekarang pihak pendukung pemenanglah yang diwajibkan untuk move on dari kemenangan. Mereka harus berpindah dari realita kemenangan dan legowo menerima kenyataan pahit ini.
Di jaman koprol ini semua bisa kebolak-balik. Ada jaksa penuntut umum yang berperan sebagai pengacara terdakwa; ada pengajian dibubarin ormas islam, sedangkan gereja dijagain; ada aliran dana miliaran dari pengembang ke Teman Ahok polisi bungkam, sedangkan aliran dana sumbangan umat ke yayasan membuat polisi gaduh; umat mau demonstrasi sesuai konstitusi dihambat, sedangkan LGBT harus dilindungi. Teroris gampang sekali ditangkap, Iwan bopeng sampai sekarang susah amat. Masih banyak fenomemena koprol lainya. Jadi selamat datang di jaman “koprol-awie”. [mc]
*Ade Wiharso, pengamat sosial politik.