Nusantarakini.com, Jakarta –
Madura adalah daerah yang tidak bisa dilepaskan dari NU. NU adalah masyarakat Madura yang seratus persen Islam, kecuali pendatang dan orang Cina.
Mengenai lekatnya NU dengan masyatakat madura, terdapatlah sebuah anekdot. “Bagi orang Madura, semua orang Madura adalah NU, kecuali yang Muhammadiyah.” Ini bermakna betapa homogen dan identiknya Madura dengan NU.
NU yang selama ini tercitrakan sebagai pembela garis kerasnya Pancasila, ternyata menjadi menarik saat dimana seorang Kyai populis dan disegani memproklamirkan diri sebagai Anti Pancasila.
Kyai itu adalah KH. Achmad Munib, yang sudah sepuh. Dengan terang benderang dia membuat tulisan di dekat mesjidnya, Anti Pancasila.
Tentu sungguh menarik mengetahui latar pikiran Kyai sepuh ini mengapa dia menyatakan diri sebagai Anti Pancasila di tengah komunitas Kyai NU yang pada umumnya makin mengidentifikasi diri sebagai pembela garis keras Pancasila. Bahkan para aktivis Banser dan Ansor hari ini dalam hal Pancasila, lebih terkenal militansi Pancasilaisme-nya ketimbang elemen yang lain. Padahal dahulu gejalanya tidak seperti itu.
Bisa jadi kyai berusia delapan puluh tahun lebih ini ingin mengimbangi kecenderungan umum di tubuh NU tersebut. Sebab jika makin hegemonik satu kecenderungan, akan berbahaya bagi identitas NU sebagai unsur terpenting dari umat Islam di Indonesia dan global. Sebagai umat Islam, loyalitas tertinggi hanya kepada Allah semata. Dunia hanya permainan dan ujian belaka.
Apapun yang menjadi motif Kyai dari Desa Beluk Kenek, Kecamatan Ambunten, Sumenep, Madura, yang dengan terang dan nyata menyatakan diri Anti Pancasila tersebut, nyatanya di tubuh NU tidaklah homogen.
Ada pengikut garis politik NU yang asli. Ada juga yang mengikuti garis pemikiran politik Almarhum Abdurrahman Wahid.
Hal ini tercermin dari sikap dan pikiran para tokoh-tokohnya, seperti alm. KH. Hasyim Muzadi versus KH. Said Agil Siradj. (fft)
