Rahasia Kemenangan Anies Sandi Menurut Teori Ibnu Khaldun

Nusantarakini.com, Jakarta –

Ibnu Khaldun memberikan kedudukan yang penting terhadap faktor fanatisme atau ashobiyyah dalam masalah kemenangan politik. Tentu perlu dibedakan pandangan umum mengenai fanatisme dengan pandangan Ibnu Khaldun.

Ibnu Khaldun adalah seorang teoritikus sosiologi politik yang lahir dari kebudayaan Islam yang agung pada sekitar tahun 1332 – 1406 M. Bukunya dengan judul Muqaddimah sudah menjadi buku legendaris dan menjadi bacaan penting hingga hari ini untuk memahami fenomena kekuasaan, masyarakat, ekonomi dan keagamaan. Bukunya juga menjadi daftar bacaan Mark Zuckerberg, pendiri Facebook.

Ashobiyyah yang diterjemahkan menjadi fanatisme merupakan faktor utama kemenangan dalam suatu pertarungan politik. Tanpa adanya fanatisme yang hidup pada suatu pendukung golongan atau pihak yang bertarung memperebutkan kekuasaan, maka kemenangan politik sulit untuk diraih.

Bila ditarik hal ini ke dalam masalah kemenangan yang diraih oleh Anies – Sandi melawan Ahok – Djarot, maka teori ashobiyyah atau fanatisme sebagai faktor penentu kemenangan politik, mendapatkan pembuktiannya.

Fanatisme yang memenangkan Anies – Sandi, memang bukanlah fanatisme atas figurnya, tapi fanatisme terhadap Islam. Fanatisme terhadap Islam ini tersulut oleh ancaman Ahok terhadap kesakralan Islam sekaligus masa depannya di DKI. Ahok berhasil menyulut fanatisme terhadap Islam ini.

Karena fanatisme ini berlangsung di dalam arena pilkada, otomatis fanatisme ini mencari penyalurannya yang tepat, yaitu memenangkan calon yang dipandang menyelamatkan Islam sekaligus menampung luapan fanatisme tersebut.

Salahkah fanatisme ini bertranaformasi menjadi motor politik? Tentu saja tidak. Di mana-mana fenomena fanatisme mesti bertendensi politik.

Adapun pihak Ahok gagal mengeksploitasi sumber fanatisme di lingkungan pendukungnya. Hal itu karena dia terlalu menekankan pendekatan rasional dan suapan materi seperti yang terlihat dalam kasus sembako dan juga mahar politik yang sangat besar.

Sedangkan kubu Anies – Sandi, dapat secara efektif memainkan emosi keagamaan yang memang menjadi sumber fanatisme terbaik. Kendati pun penyulutan fanatisme tidak dieksploitir secara langsung oleh Anies maupun Sandi, namun oleh paksaan keadaan yang ditimbulkan Ahok, menyebabkan figur-figur seperti Habib Rizieq dan Bachtiar Nasir memainkan fanatisme ini untuk melawan Ahok yang secara otomatis berdampak keuntungan politik bagi Anies – Sandi, terutama saat putaran kedua.

Walhasil ini menjadi pelajaran politik yang berharga, ternyata kekuatan fanatisme atau ashobiyyah dalam teori Ibnu Khaldun dapat mengalahkan kekuatan rasional Ahok yang ditopang oleh tiga pilar: modal dari para konglomerat; kekuasaan formal dari istana dan parpol besar pendukung Ahok; dan media yang dikontrol oleh konglomerat dan penguasa.

~ SED

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *