Warkop-98

Kearifan Lokal atau Kepandiran Kocak? Simak Ulasannya di Sini

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Jika muslim tidak boleh memilih pemimpin kecuali hanya muslim, dinyatakan intoleran dan anti-kebhinekaan, sementara kalau yg lain, istilahnya kearifan lokal….puahhhhh!!

Ketika muncul postingan yang dilanjutkan dengan petisi agar Basuki Tjahaja Purnama (BTP) mencalonkan diri menjadi Gubernur Bali, respon masyarakat putra daerah provinsi Bali mayoritas menolaknya. Bahkan, pemuja si penista agama asal Bali, Ni Luh Djelantik (NLD) sebagaimana dia melakukan pembelaan sebagai bukti kecintaan, ketika masuk ke ranah “yo wes nyalon nang Bali ae wes”, NLD pun tak berkomentar apa-apa. Diam. Ragu? Iya.

Alasannya adalah hampir mustahil seorang non Bali dan non Hindu menjadi Gubernur Bali. Ada konsensus tak tertulis yang disepakati oleh masyarakat di sana.

Pertanyaannya, lalu kenapa masyarakat Bali yang menolak calon pemimpin kepala daerah yang bukan putra daerah (non Bali) tidak disebut dengan rasis? Seperti halnya sebagian dari warga Jakarta kemarin yang menginginkan pribumi dan beragama Islam.

Apakah rasis hanya layak disandang oleh muslim saja? Susah jawabnya kan?

Beberapa waktu lalu pun ada demonstrasi di Papua, bahwa jika si penista agama tidak diterima di Jakarta, maka rakyat Papua (katanya) berkenan untuk menjadikannya Gubernur di sana. Kita pun masih tidak mempercayainya. Spanduk yang dibentangkan segelintir orang itu tidak mewakili masyarakat Papua secara umum. Sangat boleh jadi segelintir orang itu hanya terbawa emosi sesaat sebelum datang tamu bulanan, atau hanya sebatas bayaran?

Saya pun sempat menulis, silakan ‘nyalon’ saja di Papua. Namun, sepertinya saya mesti menarik saran agar si penista agama menjadi Gubernur Papua.

Karena faktanya, Pasal 12 Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua menyebutkan:

“Yang dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah warga negara Indonesia dengan syarat-syarat:
1. Orang Asli Papua
2. Dst”. 

Pada Bab I Ketentuan Umum UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua juga disebutkan bahwa Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua.

Si penista agama semakin tidak bisa mencalonkan diri menjadi Gubernur Papua. Jika Bali tidak ada aturan tertulis pun masyarakat keberatan, apalah lagi Papua yang sudah mempunyai UU-nya. Kecuali si penista agama melakukan operasi face-off bahkan skin-off, juga operasi mata. Serta mengganti nama dan ada suku asli yang mau mengangkatnya menjadi keluarganya sehingga diberikan nama fam di belakangnya. Eit, tak lupa ke salon untuk mengeritingkan rambutnya.

Anyway, lalu kenapa masyarakat Papua kemudian tidak disebut rasis karena tidak menerima Gubernur non Papua alias bukan putra daerah?

Apakah rasis hanya layak disandang oleh muslim saja? Susah jawabnya kan?

Baik, kita kesampingkan. Kita mah toleran walaupun banyak tuduhan intoleran. Kita mah mengalah saja walau banyak tuduhan kita mau menang sendiri. Kita mah menghormati dan menjalankan Bhinneka Tunggal Ika, walau banyak yang menuduh anti kebhinnekaan.

Kita kembali ke laptop. Artinya si penista agama, jika melihat fenomena di Bali dan Papua, dia ‘ditolak’ di sana. Tidak bisa menjadi kepala daerah di sana. Jangan nangis bombay!

Saran saya, coba di Jawa Barat (tapi sepertinya berat, masa selanjutnya borokokok penghina Al Quran? Apa kata dunia dan akhirat?). Jawa Tengah atau Jawa Timur. Kalau masih tidak bisa atau kalah juga, mendingan menjadi Gubernur di Pulau Nusa Kambangan satu periode saja, sesuai dengan hukuman bagi pelaku tindak pidana penistaan terhadap agama selama 5 tahun. [mc]

*Abu Selma, pengamat sosial, tinggal di Cimahi

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top