Nusantarakini.com, Jakarta –
Saya mengidam-idamkan NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia bisa bersatu. Jika memungkinkan justru bisa menjadi organisasi pemersatu ummat Islam, bukan menjadi organisasi yang memumusuhi sesama ummat Islam dari organisasi lain, apalagi menjadi alat kelompok kepentingan tertentu untuk memecah belah ummat Islam.
Jika dulu pendahulu kita bisa bersatu dan tidak mengumbar sikap saling curiga dengan sesama ummat Islam, mengapa ketika kita merdeka, pikiran kita tidak bisa merdeka dari sikap saling curiga dengan sesama ummat Islam?
Dulu NU pernah bersatu dengan Muhammadiyah di bidang politik dalam wadah Masyumi, kemudian keduanya berpisah dan keluar dari organisasi itu. Banyak juga tokoh NU, sebelumnya juga pernah menjadi tokoh Syarekat Islam seperti KH. R. Asnawi.
Tidak hanya di politik, dulu para tokoh NU dan Muhammadiyah juga bisa berjamaah dalam beribadah yang juga ditauladani tokoh tertentu dari kalangan NU dan Muhammadiyah masa kini.
Buat saya aneh, jika kini faham demokrasi dan pluralisme bisa mendekatkan NU pada pengikut agama lain, tetapi malah menjauhkan NU dengan sesama pengikut agama Islam dari organisasi Islam yang lain.
Oleh karena faham demokrasi dan pluralisme justru menjauhkan NU sebagai organisasi Islam terbesar dengan sesama pengikut agama Islam dari organisasi Islam lain, maka wajar jika ada kelompok yang menawarkan khilafah sebagai salah satu opsi. Jika ada yang memandang khilafah tidak cocok dengan alam Indonesia, lalu apakah demokrasi ala barat yang nyatanya justru mengoyak-ngoyak kebhinekatunggalekaan serta melahirkan tirani, arogansi dan merebaknya korupsi ini tetap dipandang cocok dengan alam Indonesia?
Dalam lintasan sejarah, khilafah memang hanyalah salah satu bentuk negara yang pernah diperkenalkan oleh ummat Islam, mampu menyatukan dan mampu bertahan cukup lama, walaupun tidak ada rujukan jelas bahwa khilafah itu pernah diajarkan oleh Rasulullah. Apa dan bagaimana khilafah itu? Saya berpraduga kuat bahwa yang memberikan opsi khilafah itu pun belum tentu bisa menjelaskan. Kalau toh bisa menjelaskan, paling-paling yang dijelaskan pun hanya kulit luarnya saja. Itupun pasti ada khilaf dan ikhtilafnya.
Dilihat dari akibat yang ditimbulkan, demokrasi memang tidak cocok dengan alam Indonesia. Opsi khilafah juga belum tentu cocok. Lalu mengapa kita tidak berkreasi menemukan bentuk lain? Mengombinasikan antara bentuk demokrasi dan khilafah, misalnya, jangan memandang sebelah mata kelompok lain.
Ada perbedaan di antara sesama itu wajar. Jika kita bisa menyikapi dengan bijak, saya yakin akan menjadi rahmat buat kita.. Bukankah kita meyakini bahwa Rasulullah pernah bersabda “ikhtilaafu ummatii rahmah”. Mari kita bersama menjadi lebih cerdas untuk memikirkan masalah ini.
~ Noorwahid Sofyan