Nusantarakini.com, Jakarta –
Berdasarkan hasil quick count hingga pukul 15.00 WIB (19/4/2017) dengan data suara masuk 60 an persen dari sembilan lembaga survei (LSI, SMRC, Indo Barometer, Polmark, Charta Politica, Voxpol, Litbang Kompas, dan Median Center) rata-rata perolehan suara masing-masing sebagai berikut : Ahok-Jarot 44,70%, Anies-Sandi 55,30 %.
Seperti yang disampaikan Analis Politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, angka ini masih akan terus berubah secara fluktuatif sampai data sampel diterima pusat data 100%.
“Angka perolehan kemungkinan akan stabil jika sampel TPS sudah masuk 75%. Oleh karenanya hasil quick count adalah data sementara dan relatif karena berasal dari data sampel,” ujar Ubedilah dalam keterangannya di Jakarta (19/4/2017).
Menurut Direktur Puspol Indonesia ini, Quick count bisa mendekati hasil sebenarnya jika tehnik samplingnya memegang teguh prinsip-prinsip metodelogi ilmiah.
“Misalnya mempertimbangkan beberapa hal diantaranya mempertimbangkan karakteristik keragaman pemilih di TPS, banyaknya jumlah TPS yang diambil sebagai sampel, dan rendahnya magin of error,” terang Ubed.
Ubed melanjutkan, jika asumsinya bahwa semua lembaga survei benar-benar memegang teguh prinsip-prinsip metodologi ilmiah, maka hasil quick count mendekati kebenaran gambaran akhir perolehan suara hasil perhitungan manual yang akan dilakukan KPU DKI.
“Jika itu yang terjadi maka Ahok-Djarot yang menurut hasil quick count memperoleh suara 44,70% maka kemungkinan besar Ahok-Djarot akan menelan kekalahan dan Anies-Sandi yang menurut hasil quick count memperoleh suara 55,30% maka kemungkinan besar Anies-Sandi menang menjadi Gubernur DKI periode 2017-2022,” tuturnya.
Ubed juga mafhum, bahwa hasil quick count tersebut tentu memunculkan pertanyaan, mengapa Ahok-Djarot akhirnya kalah? Menurutnya setidaknya ada empat faktor utama yang menyebabkan Ahok-Djarot kalah.
Pertama, kata dia, mesin politik Ahok-Djarot tidak bergerak efektif. Mesin politik Ahok-Djarot secara kuantitas sebenarnya mengungguli pasangan Anies-Sandi karena Ahok-Jarot didukung 6 partai politik (PDIP, Nasdem, Hanura, Golkar, PKB dan PPP) dan mantan relawan yang teruji pada pilkada 2012. Sementara Anies-Sandi didukung 5 partai (Gerindra,PKS,PAN,Perindo, dan Partai Idaman) dan relawan.
Ubed menyayangkan, modal kuantitas tersebut tidak mampu bekerja efektif karena pola kampanyenya sudah bisa dibaca dengan baik oleh mesin politik pasangan Anies-Sandi. Pola ‘kampanye darat’ yang konvensional dengan kecenderungan menggunakan pola seperti melalui kegiatan baksos, sembako murah, dan sembako gratis tidak efektif lagi mempengaruhi secara luas pemilih Jakarta yang mayoritas pemilih rasional.
“Termasuk pola ‘kampanye udara’ yang cenderung menggunakan pola playing victim, sebuah kampanye melalui dunia maya untuk menggambarkan pasangan Ahok-Djarot sebagai korban diskriminasi dan intoleransi tidak mampu merubah cara pandangan warga Jakarta secara mayoritas. Militansi berlebihan cyber army Ahok-Djarot juga seringkali justru menjadi blunder politik,” paparnya.
Kedua, Ubed menyampaikan bahwa modal finansial (financial capital) yang lebih besar dimiliki pasangan Ahok-Djarot tidak digunakan secara efisien dan efektif. Melimpahnya dukungan finansial yang dimiliki Ahok-Djarot tidak digunakan untuk agenda-agenda pemenangan secara efisien.
“Ini bisa dicermati dari pembiayaan yang besar untuk imaging politic melalui media masa dan media sosial tetapi tidak berbuah pada meningkatnya elektabilitas Ahok-Djarot,” bebernya Ubed.
“Kampanye ‘udara’ yang berbiaya besar nampak lebih diutamakan dibanding ‘kampanye darat’ yang sesungguhnya bisa lebih efektif dengan menggerakan mesin politik secara kuburan,” imbuhnya.
Alasan ketiga, menurut Ubedilah, komunikasi publik Ahok yang tidak santun. Tidak sedikit pernyataan-pernyataan Ahok dihadapan publik menimbulkan kemarahan massa.
“Diantaranya yang paling fenomenal adalah terkait pernyataanya mengenai Almaaidah 51 di Kepulauan Seribu pada september 2016. Dalam konteks sosiologis politik nampaknya cara komunikasi santun jauh lebih diterima warga Jakarta,” ungkapnya.
Keempat, lanjut Ubed, tindakan fatal relawan atau simpatisan Ahok-Djarot.
“Tindakan fatal Ahok atau timnya menjelang putaran dua saya catat ada pada dua hal, yaitu video kampanye yang mengesankan umat Islam intoleran (lakukan kekerasan) dan operasi bagi-bagi sembako di hari tenang yang dilakukan oleh sekelompok relawan atau simpatisan yang menggunakan simbol baju kotak-kotak,” terang Ubed.
“Ini menimbulkan kesan negatif terhadap pasangan Ahok-Djarot yang justru mengurangi elektabilitasnya. Video kampanye Ahok-Djarot yang menggambarkan umat Islam yang keras dan intoleran tersebut justru meningkatkan militansi pemilih muslim Jakarta karena umat merasa disudutkan, ini mengingatkan warga muslim terhadap Ahok dalam kasus Almaidah 51. Ahok-Jarot nampaknya lupa temuan riset bahwa 65% warga muslim Jakarta memilih karena faktor agama,” bebernya.
Menurut Ubed, empat faktor kekalahan Ahok-Djarot tersebut menjadi pelajaran berharga bagi para politisi.
“Faktor tidak efektifnya mesin politik dalam bekerja dan performa komunikasi politik calon gubernur yang ekstrim berlawanan dengan kondisi sosiologis masyarakat atau pandangan umum masyarakat adalah faktor utama kekalahan,” tandasnya mengakhiri keterangan. (mc)