Nusantarakini.com, Jakarta –
Politik Sembako Melanggar Hukum dan Menodai Demokrasi
By: Edriana Noerdin
Fenomena pembagian sembako pada pilkada DKI kali ini adalah fenomena gunung es. Laporan resmi team Advokasi AniesSandi sampai hari ini ada 15 tempat yang sudah diserbu guyuran sembako oleh orang-orang yang mengaku tim Ahok-Djarot. Kami percaya sangat banyak lagi serbuan seperti itu yang tidak dilaporkan secara resmi namun bisa kita lihat berbagai kejadiannya melalui media sosial. 15 kasus tersebut walau sudah diteruskan ke Bawaslu tapi belum mendapat tanggapan yang jelas sampai hari ini.
Terrorizing voters untuk menciptakan atmosphere ketakutan bagi calon pemilih yg ingin menjalankan hak demokrasi mereka dilakukan secara masif dan terus menerus.
Ada 2 Pola teror yang dilakukan oleh kubu petahana yaitu: Serbuan Sembako dan Sebaran Fitnah yang tak henti-hentinya.
1. Serbuan sembako secara masif di berbagai tempat yang dilakukan secara terang-terangan, melibatkan banyak orang, bahkan pada beberapa tempat dikawal oleh aparat dan tidak pernah ditindak oleh penyelenggara Pemilu.
Kita tahu politik uang atau sembako ini merupakan tindak pidana dan sudah diatur dalam UU. Namun telah terjadi teror yang luar biasa terhadap orang-orang yang menghalangi dan yang melaporkan tindakan tersebut. Politik sembako ini jelas-jelas melawan hukum karena sudah memenuhi unsur-unsur pidana sesuai dengan pasal 73 dan 187 A UU Pilkada tahun 2016. Baik pemberi maupun penerima bisa dikenai hukumam pidana.
Teruntuk pasal 187 poin A hingga D, dituliskan bahwa orang yang terlibat politik uang sebagai pemberi bisa dipenjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan. Selain hukuman badan, pelaku juga dikenakan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Sanksi ini juga berlaku untuk penerima. Bahkan juga disebutkan bagi calon yang melakukan politik uang secara langsung bisa dibatalkan pencalonannya.
Sekedar contoh, hujan sembako tersebut kepergok di daerah-daerah; Jakarta Utara: Cilincing, Kalibaru; Jakarta Timur: Kampung Melayu, Lubang buaya, Klender, Jatinegara kaum dan Rawamangun; Jakarta Barat: Cengkareng; Jakarta Selatan: Kebayoran Lama; serta banyak darah lainnya.
2. Sebaran Fitnah yang ditujukan pada pasangan AniesSandi yang tak henti-henti sampai hari ini dan dibuat secara terencana dan terorganisir. Mulai dari fitnah tentang poligami, Jakarta bersyariah, Syiah, larangan memandikan mayat, serta banyak lagi yang lainnya.
Bahkan baru-baru ini ada sebaran Video bahwa Anies seorang penganuh Syiah.
Sampai hari ini telah tercatat 90 macam fitnah yang ditujukan pada AniesSandi yang bisa dilihat dalam fitnahlagi.com.
Serangan-serangan yang dilakukan terhadap pribadi Anies-Sandi baik melalui laporan polisi yang tak henti-hentinya sampai pada pembunuhan karakter melalui media sosial sepertinya sudah masuk dalam design besar untuk menghancurkan lawan politik petahana.
Semua fitnah tersebut menjadi tuntas dengan munculnya spanduk yang mengatakan “Kami Tolak Cagub yang didukung kelompok Radikal”. Kembali pemasangan spanduk yang mungkin dianggap efektif untuk menakut-nakuti pemilih dan sungguh berpotensi memecah belah umat.
Telah terjadi pembiaran dan terkesan terkoordinir dengan baik serbuan sembako dan sebaran fitnah tersebut sehingga bisa dikatakan ini adalah sabotase terhadap proses pemilu sebagai instrumen demokrasi.
Sabotase ini harusnya menjadi perhatian kita semua. Ini adalah persoalan seluruh warga untuk menjaga kualitas demokrasi di negeri ini. Menjadi bahaya bila terjadi public distrust terhadap proses demokrasi dalam Pilkada DKI.
Persyaratan sebuah proses pemilu, Pilkada, yang berkualitas adalah:
Ada calon yang bersih, penyelenggara yang bersih dan pemilih yang juga bersih.
Tapi apa mau dikata. Petahana ternyata rela menggadaikan demokrasi dan menghancurkan reputasi melalui politik sembako untuk mempertahankan kekuasaannya. Dengan moto lebih baik menang secara tidak terhormat dari pada kalah secara terhormat telah membuat petahana tampaknya terlibat dalam sabotase kualitas demokrasi dalam Pilkada DKI ini. (mc)